BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wanita adalah
perempuan dewasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dalam bahasa Jawa berasal
dari singkatan Wani dan tata (berani diatur) agar dapat menjaga kesuciannya
seperti Dewi Sinta dalam Agama Hindu, Siti Maryam dalam Agama Nashrani dan
Sayyidah Fathimah binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Agama
Islam.
Di dunia ini
dalam aspek tertentu, Allah Ta’ala lebih mengistimewakan kaum wanita daripada
kaum pria, buktinya hanya wanita saja yang digunakan sebagai nama surat dalam
Alquran. Rasulullah saw. juga mengistimewakan kaum wanita sampai-sampai beliau
bersabda bahwa Surga itu berada di bawah telapak kaum ibu, dimana orang yang
berhak dipanggil sebagai ibu hanyalah mereka yang berasal dari kaum wanita.
Di
sisi lain, wanita itu kurang akal dan agamanya sebagaimana dikabarkan oleh Nabi
dari hadits Abu Said Al Khudri, dia berkata: Ketika hari Idul Adha atau Idul
Fithri Rasulullah keluar menuju musholla (tanah lapang) dan ketika sampai pada
khutbah Id Beliau melewati kaum wanita seraya bersabda, “wahai para wanita,
bersedekahlah kalian karena diperlihatkan kepadaku kebanyakan penghuni neraka
adalah kalian,” Para wanita berkata, “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami, aku
belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang bisa
menghilangkan akal seorang laki-laki yang teguh daripada kalian.”(HR. Bukhari).
Orang yang
kurang akal pasti butuh kepada seseorang yang memberikan pengarahan kepadanya
dengan pengarahan yang benar, dengan cara yang halus, lembut dan lunak. Nah,
dengan adanya karakter wanita yang seperti itu bagaimana selayaknya seorang
laki-laki menghadapi seorang wanita?
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
bunyi hadits yang menjelaskan tentang ‘bersikap baik terhadap wanita’?
2.
Bagaimana
profil perawi dalam hadits tersebut?
3.
Bagaimana
takhrij, syarah, tahlil, dan fiqhul haditsnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits dan Terjemah
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اسْتَوْصُوْا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ
مَا فِى الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ
لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ (متفق عليه)
Abu
Hurairoh berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berpesan-pesan
baiklah kamu terhadap perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk
yang bengkok, maka kalau kau paksa meluruskannya dengan kekerasan pasti patah,
dan jika kau biarkan tentu tetap bengkok, karena itu berpesan baik-baiklah
terhadap perempuan.” (H.R. Bukhari Muslim)[1]
B.
Biografi Perawi Hadits
1)
Imam
Bukhari
Nama lengkapnya
adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah
al-Ju’fi al-Farisi. Sedangkan kunyah beliau adalah Abu Abdillah. Di
lahirkan di Bukhara, sebuah kota masyhur yang terletak di sebelah tengah
Uzbekistan, pada bulan Syawal tahun 194 H. Beliau tumbuh dengan keadaan yatim
dalam didikan ibunya.
Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwasanya beliau dahulu dapat menghafal sebuah kitab
hanya dengan membacanya sekali saja. Beliau adalah seorang yang zuhud,
berhati-hati dan menjauhi hal-hal haram dan subhat (tidak jelas halal
haramnya), jauh dari para penguasa dan pemimpin, pemberani dan dermawan.
Beliau memulai rihlah
(perjalanan) untuk menuntut ilmu hadis pada tahun 210 H ketika pergi
berhaji bersama Ibu dan saudaranya. Beliau menetap di Makkah untuk menyelami
ilmu hadis, setelah itu baru beliau berkeliling ke negara-negara yang lain. Ia
memiliki ketelitian yang menakjubkan ketika beristinbat dari suatu hadis,
sebagaimana yang telah terbukti dalam kitab Shahih-nya.
Imam al-Bukhari
memiliki banyak karya tulisan, di antaranya adalah Shahih al-Bukhari,
al-Adab al-Mufrad, Khalq Af’al al-‘Ibad, Juz’ Raf’ al-Yadain fi ad-Du’a, Juz’
al-Qiraah kalfa al-Imam, Tarikh al-Bukhari, dan beberapa kitab lainnya.
Imam al-Bukhari
rahimahullah wafat di daerah Khartank, sebuah negeri yang terletak dekat
dari Samarkand pada malam Idul Fitri tahun 256 H pada usia 62 tahun kurang tiga
belas hari.[2]
2)
Imam Muslim
Imam Muslim
bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al
Qusyairi an Naisaburi. Beliau dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817
M.
Perhatian dan
minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini,
beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai
belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau
dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika
berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli
hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits
Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits.
Ketika terjadi
fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada
Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya
dengan Imam Az Zihli. Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab
lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal
beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari.
Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim
menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik,
dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. Imam Muslim memiliki jumlah karya yang
cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih
Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim
memiliki karakteristik tersendiri.
Imam Muslim
wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT
merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam
golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.[3]
C.
Takhrij Al Hadits
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ،
قَالَا: حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ مَيْسَرَةَ
الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ
أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ
أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ[4]
حكم
على الاسانيذ:
إسناده متصل ، رجاله ثقات ، رجاله رجال البخاري
طبقة الراوي :
أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَام : ثقات
حُسَيْنُ بْنُ عَلِيّ : ثقات
زَائِدَةَ : ثقات
مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيّ : ثقات
أَبِي حَازِم : ثقات
أَبِي هُرَيْرَةَ : صحابي
أَخْبَرَنَا الْقَاسِمُ
بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ، قَالَ: ثنا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ،
عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ مَيْسَرَةَ الأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ
فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ، إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ، كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ،
لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ "[5]
حكم على الاسانيذ:
إسناده متصل ، رجاله ثقات
طبقة الراوي :
الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ : ثقات
حُسَيْنُ بْنُ عَلِيّ :
ثقات
زَائِدَةَ :
ثقات
مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيّ : ثقات
أَبِي حَازِم :
ثقات
أَبِي هُرَيْرَةَ : صحابي
D.
Tahlil Al lafdzy
(استَوصُوا ) قِيلَ مَعناهُ
تَواصَوا بِهِنَّ، والباء لِلتَّعدِيَةِ والاستِفعال بِمَعنَى الإِفعال
كالاستِجابَةِ بِمَعنَى الإِجابَة.وقالَ الطِّيبِيُّ: السِّين لِلطَّلَبِ وهُو
لِلمُبالَغَةِ أَي اُطلُبُوا الوصِيَّة مِن أَنفُسكُم فِي حَقّهنَّ، أَو اُطلُبُوا
الوصِيَّة مِن غَيركُم بِهِنَّ كَمَن يَعُود مَرِيضًا فَيُستَحَبّ لَهُ أَن
يَحُثَّهُ عَلَى الوصِيَّة والوصِيَّة بِالنِّساءِ آكَد لِضَعفِهِنَّ واحتِياجهنَّ
إِلَى مَن يَقُوم بِأَمرِهِنَّ.وقِيلَ مَعناهُ اقبَلُوا وصِيَّتِي فِيهِنَّ
واعمَلُوا بِها وارفُقُوا بِهِنَّ وأَحسِنُوا عِشرَتهنَّ.
قالَ الطِّيبِيُّ.قوله: (خُلِقَت مِن ضِلَع)، بِكَسرِ
المُعجَمَة وفَتح اللاَّم ويَجُوز تَسكِينها، قِيلَ فِيهِ إِشارَة إِلَى أَنَّ
حَوّاء خُلِقَت مِن ضِلَع آدَم الأَيسَر
قوله: (وإِنَّ أَعوج شَيء فِي الضِّلع أَعلاهُ ) قِيلَ
فِيهِ إِشارَة إِلَى أَنَّ أَعوج ما فِي المَرأَة لِسانها، وفِي استِعمال أَعوج
استِعمال لأَفعَل فِي العُيُوب وهُو شاذّ، وفائِدَة هَذِهِ المُقَدِّمَة أَنَّ
المَرأَة خُلِقَت مِن ضِلع أَعوج فَلا يُنكَر اعوِجاجها، أَو الإِشارَة إِلَى
أَنَّها لا تَقبَل التَّقوِيم كَما أَنَّ الضِّلع لا يَقبَلهُ
.قوله: (فَإِن ذَهَبت تُقِيمهُ
كَسَرته ) قِيلَ هُو ضَرب مَثَل لِلطَّلاقِ أَي إِن أَرَدت مِنها أَن تَترُك
اعوِجاجها أَفضَى الأَمر إِلَى فِراقها.
Makna dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa
sallam “Berwasiatlah untuk para wanita” ada beberapa makna, diantaranya:
(i) Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah
“Hendaknya kalian saling berwasiat untuk memperhatikan dan menunaikan hak-hak
para wanita”
(ii) Ada
yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian meminta wasiat dari
diri kalian sendiri atau dari orang lain untuk menunaikan hak-hak para wanita”.
Sebagaimana seseorang yang ingin menjenguk saudaranya yang sakit maka
disunnahkan baginya untuk berwasiat, dan berwasiat kepada wanita perkaranya
lebih ditekankan lagi mengingat kondisi mereka yang lemah dan membutuhkan orang
lain yang mengerjakan urusan mereka.
(iii)
Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Terimalah wasiatku (Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam) tentang para wanita dan amalkanlah wasiat tersebut, bersikap
lembutlah kepada mereka dan gaulilah mereka dengan baik”. (Pendapat yang
terakhir inilah yang menurut Ibnu Hajar lebih tepat[6]
Inti
dari ketiga penafsiran di atas adalah hendaknya para suami memberikan perhatian
yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita.
Wanita
adalah makhluk yang lemah yang sangat membutuhkan kasih sayang dari
suaminya…membutuhkan perhatian khusus….. oleh karena itu Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam membuka wasiatnya dengan sabdanya ((Berwasiatlah untuk para
wanita)) dan menutup wasiatnya dengan mengulangi sabdanya ((Berwasiatlah untuk
para wanita)) untuk menegaskan hal ini.[7]
E.
Syarah secara global
Kembali pada hadits yang menjelaskan
Hawa diciptakan dari tulang rusuk diatas dan dinyatakan shohih oleh pakar
hadits, para ulama juga tidak satu pendapat dalam memahaminya. sebagaian ulama
memahami hadits ini dalam pengertian tekstualnya (harfiyah), sementara sebagian
yang lain lebih memahaminya dalam pengertian metafora (majaz atau taybih). Bagi
mereka yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits diatas
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena
danya sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan
laki-laki. Perbedaan karakter dan kecenderungan kedua jenis manusia ini, jika
tidak dihadapi secara bijaksana, akan dapat menghantarkan kaum lelaki bersikap
tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan
perempuan, kalaupun mereka berusaha akhirnya akan fatal, sebagaimana meluruskan
tulang rusuk yang bengkok.
Kaum lelaki harus ingat bahwa wanita
tidaklah dengan sengaja memiliki prilaku semacam itu dengan tujuan untuk
merepotkan dan menyusahkan mereka. Hal itu sudah merupakan takdir Allah atas
wanita dengan memberinya sifat utuh berupa cepat emosi dan berlebihan. Karena
itu seorang laki-laki hendaklah sabar menghadapinya dan bersifat pemaaf. Perlu
juga ia ketahui bahwa sifat ini merupakan salah satu ciri atau keistimewaan
wanita yang bisa saja mempunyai pengaruh baik sehingga wanita mampu
melaksanakan fungsinya yang utama, seperti mengandung, menyusui, dan memelihara
anak-anak. Bagaimanapun, tugas itu membutuhkan perasaan yang halus dan
sensitivitas yang tinggi. Kemudian perlu juga diketahui laki-laki bahwa apabila
dia mempersoalkan setiap kesalahan istrinya yang timbul akibat emosinya yang
berlebihan lalu menghukum dan mencaci makinya, maka hal itu tidak akan
menghasilkan apa-apa selain menambah keretakan dan perpecahan hubungan keluarga, kemudian berakhir dengan
perpisahan dan perceraian. Terakhir seorang laki-laki harus ingat bahwa seorang
istri pasti mempunyai kelebihan-kelebihan dan hal-hal yang baik sebagai
pengganti kekurangannya tersebut. Rasulullah SAW dalam sabda beliau yang sangat
bijaksana telah memberikan resep untuk
menghadapi setiap ulah yang muncul dari kaum perempuan, seperti sabda
beliau:[8]
لا يفرك مؤمن
مؤمنة ان كره منها خلقا رضي منها اخر. (رواه مسلم عن ابي هريرة)
“Seorang laki-laki mukmin tidak pantas
membenci seorang istri mukminah dan jika dia membenci, maka dia akan menyukai
perangainya yang lain.” (Riwayat Muslim dari Abi Hurairah)
F.
Fiqh Al Hadits
1.
Hendaknya
memperhatikan hak-hak para wanita dan wasiat (untuk berbuat baik) kepada mereka
serta untuk mempergauli mereka dengan baik.
2.
Wajib
bagi seorang suami untuk mengarahkan istrinya kepada pendidikan agama dan
pengamalan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah
3.
Jika
kebengkokan sang istri membawa sang istri hingga melakukan kemaksiatan atau
meninggalkan kewajiban maka wajib baginya untuk menasehati istrinya tersebut.
امساك بمعروف اوتسريح باحسان
4.
Tatkala
seorang suami mengetahui kekurangan seorang istri maka janganlah sampai ia
mengharapkan istrinya akan menjadi lurus seratus persen, karena bagaimanapun
juga sholehnya wanita itu ia tetap saja masih memiliki kebengkokan, dan
janganlah seorang suami mengharapkan kemustahilan dari istrinya.
5.
Meluruskan kesalahan mereka
dengan lemah lembut bersikap baik kepada mereka, dan bersikap sabar.
6.
Hendaknya seorang suami memahami
kekurangan istri.
7.
Jangan hanya memikirkan
kekurangannya, tapi lihatlah kebaikan-kebaikannya.
8.
Sebagai wanita hendaknya
memahami kekurangannya dan berusahalah untuk menambal kekurangan
9.
Bagi para wanita hendaklah
intropeksi diri (muhasabah an nafs)
10. Rasulullah mengharapkan kebaikan
dari wanita
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagian ulama
memahami hadits ini dalam pengertian tekstualnya (harfiyah), sementara sebagian
yang lain lebih memahaminya dalam pengertian metafora (majaz atau tasybih).
Bagi mereka yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits di atas
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena
adanya sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan
laki-laki.
Rasulullah
shallahu ‘alaihi wa sallam menegaskandengan mengulangi sabdanya dalam membuka dan menutup wasiatnya dengan “اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ”. Dari situ, maka hendaknya para suami memberikan
perhatian yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita. Karena wanita
adalah makhluk yang lemah yang sangat membutuhkan kasih sayang dari suaminya
dan membutuhkan perhatian khusus.
B.
Saran
Wanita itu meskipun pisiknya lemah, namun wataknya sangat keras bagaikan
tulang rusuk. Karena itu diperlukan sikap sabar dan nasehat yang baik dalam
membimbing mereka menuju kehidupan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Al Quran
Tematik, Peran dan Kedudukan Perempuan, Jakarta: Aku Bisa, 2012
Abuzzuhry.com. Menjadi Suami Idaman Isteri. html
محمد بن اسماعيل
البخارى, صحيح بخارى,بيروت : دار ابن كثير, جزء.6
النسائي, سنن كبرى للنسائي, بيروت : دار الكتاب العلمية, جزء.6
احمد بن على بن حجر ابوالفضل العثقلانى
الشافعي, فتح البارى شرح صحيح بخارى, دار المعرفة,بيروت, جزء4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar