Rabu, 27 Agustus 2014

hadits اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Wanita adalah perempuan dewasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan Wani dan tata (berani diatur) agar dapat menjaga kesuciannya seperti Dewi Sinta dalam Agama Hindu, Siti Maryam dalam Agama Nashrani dan Sayyidah Fathimah binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Agama Islam.
Di dunia ini dalam aspek tertentu, Allah Ta’ala lebih mengistimewakan kaum wanita daripada kaum pria, buktinya hanya wanita saja yang digunakan sebagai nama surat dalam Alquran. Rasulullah saw. juga mengistimewakan kaum wanita sampai-sampai beliau bersabda bahwa Surga itu berada di bawah telapak kaum ibu, dimana orang yang berhak dipanggil sebagai ibu hanyalah mereka yang berasal dari kaum wanita.
Di sisi lain, wanita itu kurang akal dan agamanya sebagaimana dikabarkan oleh Nabi dari hadits Abu Said Al Khudri, dia berkata: Ketika hari Idul Adha atau Idul Fithri Rasulullah keluar menuju musholla (tanah lapang) dan ketika sampai pada khutbah Id Beliau melewati kaum wanita seraya bersabda, “wahai para wanita, bersedekahlah kalian karena diperlihatkan kepadaku kebanyakan penghuni neraka adalah kalian,” Para wanita berkata, “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami, aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang bisa menghilangkan akal seorang laki-laki yang teguh daripada kalian.”(HR. Bukhari).
Orang yang kurang akal pasti butuh kepada seseorang yang memberikan pengarahan kepadanya dengan pengarahan yang benar, dengan cara yang halus, lembut dan lunak. Nah, dengan adanya karakter wanita yang seperti itu bagaimana selayaknya seorang laki-laki menghadapi seorang wanita?

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bunyi hadits yang menjelaskan tentang ‘bersikap baik terhadap wanita’?
2.      Bagaimana profil perawi dalam hadits tersebut?
3.      Bagaimana takhrij, syarah, tahlil, dan fiqhul haditsnya?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hadits dan Terjemah
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال:  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِى الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ (متفق عليه)

Abu Hurairoh berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berpesan-pesan baiklah kamu terhadap perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, maka kalau kau paksa meluruskannya dengan kekerasan pasti patah, dan jika kau biarkan tentu tetap bengkok, karena itu berpesan baik-baiklah terhadap perempuan.” (H.R. Bukhari Muslim)[1]

B.  Biografi Perawi Hadits
1)      Imam Bukhari
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Farisi. Sedangkan kunyah beliau adalah Abu Abdillah. Di lahirkan di Bukhara, sebuah kota masyhur yang terletak di sebelah tengah Uzbekistan, pada bulan Syawal tahun 194 H. Beliau tumbuh dengan keadaan yatim dalam didikan ibunya.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya beliau dahulu dapat menghafal sebuah kitab hanya dengan membacanya sekali saja. Beliau adalah seorang yang zuhud, berhati-hati dan menjauhi hal-hal haram dan subhat (tidak jelas halal haramnya), jauh dari para penguasa dan pemimpin, pemberani dan dermawan.
Beliau memulai rihlah (perjalanan) untuk menuntut ilmu hadis pada tahun 210 H ketika pergi berhaji bersama Ibu dan saudaranya. Beliau menetap di Makkah untuk menyelami ilmu hadis, setelah itu baru beliau berkeliling ke negara-negara yang lain. Ia memiliki ketelitian yang menakjubkan ketika beristinbat dari suatu hadis, sebagaimana yang telah terbukti dalam kitab Shahih-nya.
Imam al-Bukhari memiliki banyak karya tulisan, di antaranya adalah Shahih al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Khalq Af’al al-‘Ibad, Juz’ Raf’ al-Yadain fi ad-Du’a, Juz’ al-Qiraah kalfa al-Imam, Tarikh al-Bukhari, dan beberapa kitab lainnya.
Imam al-Bukhari rahimahullah wafat di daerah Khartank, sebuah negeri yang terletak dekat dari Samarkand pada malam Idul Fitri tahun 256 H pada usia 62 tahun kurang tiga belas hari.[2]
2)      Imam Muslim
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Beliau dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri.
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.[3]

C.  Takhrij Al Hadits

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ[4]
حكم على الاسانيذ:
إسناده متصل ، رجاله ثقات ، رجاله رجال البخاري
طبقة الراوي :
أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَام   :  ثقات
حُسَيْنُ بْنُ عَلِيّ                   :  ثقات            
زَائِدَةَ                               :  ثقات
مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيّ                 : ثقات
 أَبِي حَازِم                                    :  ثقات
أَبِي هُرَيْرَةَ                        : صحابي

أَخْبَرَنَا الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ، قَالَ: ثنا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ مَيْسَرَةَ الأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ، إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ، كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ، لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ "[5]
حكم على الاسانيذ:
إسناده متصل ، رجاله ثقات
طبقة الراوي :
الْقَاسِمُ بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ       : ثقات
حُسَيْنُ بْنُ عَلِيّ                               :  ثقات            
زَائِدَةَ                                           :  ثقات
مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيّ                             : ثقات
 أَبِي حَازِم                                                :  ثقات
أَبِي هُرَيْرَةَ                                    :  صحابي
D.  Tahlil Al lafdzy

(استَوصُوا ) قِيلَ مَعناهُ تَواصَوا بِهِنَّ، والباء لِلتَّعدِيَةِ والاستِفعال بِمَعنَى الإِفعال كالاستِجابَةِ بِمَعنَى الإِجابَة.وقالَ الطِّيبِيُّ: السِّين لِلطَّلَبِ وهُو لِلمُبالَغَةِ أَي اُطلُبُوا الوصِيَّة مِن أَنفُسكُم فِي حَقّهنَّ، أَو اُطلُبُوا الوصِيَّة مِن غَيركُم بِهِنَّ كَمَن يَعُود مَرِيضًا فَيُستَحَبّ لَهُ أَن يَحُثَّهُ عَلَى الوصِيَّة والوصِيَّة بِالنِّساءِ آكَد لِضَعفِهِنَّ واحتِياجهنَّ إِلَى مَن يَقُوم بِأَمرِهِنَّ.وقِيلَ مَعناهُ اقبَلُوا وصِيَّتِي فِيهِنَّ واعمَلُوا بِها وارفُقُوا بِهِنَّ وأَحسِنُوا عِشرَتهنَّ.
قالَ الطِّيبِيُّ.قوله: (خُلِقَت مِن ضِلَع)، بِكَسرِ المُعجَمَة وفَتح اللاَّم ويَجُوز تَسكِينها، قِيلَ فِيهِ إِشارَة إِلَى أَنَّ حَوّاء خُلِقَت مِن ضِلَع آدَم الأَيسَر
قوله: (وإِنَّ أَعوج شَيء فِي الضِّلع أَعلاهُ ) قِيلَ فِيهِ إِشارَة إِلَى أَنَّ أَعوج ما فِي المَرأَة لِسانها، وفِي استِعمال أَعوج استِعمال لأَفعَل فِي العُيُوب وهُو شاذّ، وفائِدَة هَذِهِ المُقَدِّمَة أَنَّ المَرأَة خُلِقَت مِن ضِلع أَعوج فَلا يُنكَر اعوِجاجها، أَو الإِشارَة إِلَى أَنَّها لا تَقبَل التَّقوِيم كَما أَنَّ الضِّلع لا يَقبَلهُ
.قوله: (فَإِن ذَهَبت تُقِيمهُ كَسَرته ) قِيلَ هُو ضَرب مَثَل لِلطَّلاقِ أَي إِن أَرَدت مِنها أَن تَترُك اعوِجاجها أَفضَى الأَمر إِلَى فِراقها.
Makna dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam “Berwasiatlah untuk para wanita” ada beberapa makna, diantaranya:
(i)    Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian saling berwasiat untuk memperhatikan dan menunaikan hak-hak para wanita”
(ii) Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Hendaknya kalian meminta wasiat dari diri kalian sendiri atau dari orang lain untuk menunaikan hak-hak para wanita”. Sebagaimana seseorang yang ingin menjenguk saudaranya yang sakit maka disunnahkan baginya untuk berwasiat, dan berwasiat kepada wanita perkaranya lebih ditekankan lagi mengingat kondisi mereka yang lemah dan membutuhkan orang lain yang mengerjakan urusan mereka.
(iii) Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah “Terimalah wasiatku (Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam) tentang para wanita dan amalkanlah wasiat tersebut, bersikap lembutlah kepada mereka dan gaulilah mereka dengan baik”. (Pendapat yang terakhir inilah yang menurut Ibnu Hajar lebih tepat[6]
Inti dari ketiga penafsiran di atas adalah hendaknya para suami memberikan perhatian yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita.
Wanita adalah makhluk yang lemah yang sangat membutuhkan kasih sayang dari suaminya…membutuhkan perhatian khusus….. oleh karena itu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam membuka wasiatnya dengan sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) dan menutup wasiatnya dengan mengulangi sabdanya ((Berwasiatlah untuk para wanita)) untuk menegaskan hal ini.[7]

E.  Syarah secara global
Kembali pada hadits yang menjelaskan Hawa diciptakan dari tulang rusuk diatas dan dinyatakan shohih oleh pakar hadits, para ulama juga tidak satu pendapat dalam memahaminya. sebagaian ulama memahami hadits ini dalam pengertian tekstualnya (harfiyah), sementara sebagian yang lain lebih memahaminya dalam pengertian metafora (majaz atau taybih). Bagi mereka yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits diatas memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena danya sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki. Perbedaan karakter dan kecenderungan kedua jenis manusia ini, jika tidak dihadapi secara bijaksana, akan dapat menghantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akhirnya akan fatal, sebagaimana meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Kaum lelaki harus ingat bahwa wanita tidaklah dengan sengaja memiliki prilaku semacam itu dengan tujuan untuk merepotkan dan menyusahkan mereka. Hal itu sudah merupakan takdir Allah atas wanita dengan memberinya sifat utuh berupa cepat emosi dan berlebihan. Karena itu seorang laki-laki hendaklah sabar menghadapinya dan bersifat pemaaf. Perlu juga ia ketahui bahwa sifat ini merupakan salah satu ciri atau keistimewaan wanita yang bisa saja mempunyai pengaruh baik sehingga wanita mampu melaksanakan fungsinya yang utama, seperti mengandung, menyusui, dan memelihara anak-anak. Bagaimanapun, tugas itu membutuhkan perasaan yang halus dan sensitivitas yang tinggi. Kemudian perlu juga diketahui laki-laki bahwa apabila dia mempersoalkan setiap kesalahan istrinya yang timbul akibat emosinya yang berlebihan lalu menghukum dan mencaci makinya, maka hal itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain menambah keretakan dan perpecahan  hubungan keluarga, kemudian berakhir dengan perpisahan dan perceraian. Terakhir seorang laki-laki harus ingat bahwa seorang istri pasti mempunyai kelebihan-kelebihan dan hal-hal yang baik sebagai pengganti kekurangannya tersebut. Rasulullah SAW dalam sabda beliau yang sangat bijaksana telah memberikan resep untuk  menghadapi setiap ulah yang muncul dari kaum perempuan, seperti sabda beliau:[8]
لا يفرك مؤمن مؤمنة ان كره منها خلقا رضي منها اخر. (رواه مسلم عن ابي هريرة)
Seorang laki-laki mukmin tidak pantas membenci seorang istri mukminah dan jika dia membenci, maka dia akan menyukai perangainya yang lain. (Riwayat Muslim dari Abi Hurairah)
F.   Fiqh Al Hadits
1.        Hendaknya memperhatikan hak-hak para wanita dan wasiat (untuk berbuat baik) kepada mereka serta untuk mempergauli mereka dengan baik.
2.        Wajib bagi seorang suami untuk mengarahkan istrinya kepada pendidikan agama dan pengamalan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah
3.        Jika kebengkokan sang istri membawa sang istri hingga melakukan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban maka wajib baginya untuk menasehati istrinya tersebut.
امساك بمعروف اوتسريح باحسان
4.        Tatkala seorang suami mengetahui kekurangan seorang istri maka janganlah sampai ia mengharapkan istrinya akan menjadi lurus seratus persen, karena bagaimanapun juga sholehnya wanita itu ia tetap saja masih memiliki kebengkokan, dan janganlah seorang suami mengharapkan kemustahilan dari istrinya.
5.        Meluruskan kesalahan mereka dengan lemah lembut bersikap baik kepada mereka, dan bersikap sabar.
6.        Hendaknya seorang suami memahami kekurangan istri.
7.        Jangan hanya memikirkan kekurangannya, tapi lihatlah kebaikan-kebaikannya.
8.        Sebagai wanita hendaknya memahami kekurangannya dan berusahalah untuk menambal kekurangan
9.        Bagi para wanita hendaklah intropeksi diri (muhasabah an nafs)
10.    Rasulullah mengharapkan kebaikan dari wanita








                                                        








BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sebagian ulama memahami hadits ini dalam pengertian tekstualnya (harfiyah), sementara sebagian yang lain lebih memahaminya dalam pengertian metafora (majaz atau tasybih). Bagi mereka yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits di atas memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena adanya sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menegaskandengan mengulangi sabdanya  dalam membuka dan menutup wasiatnya dengan “اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ”. Dari situ, maka hendaknya para suami memberikan perhatian yang serius dalam bersikap baik kepada para wanita. Karena wanita adalah makhluk yang lemah yang sangat membutuhkan kasih sayang dari suaminya dan membutuhkan perhatian khusus.


B.     Saran
Wanita itu meskipun pisiknya lemah, namun wataknya sangat keras bagaikan tulang rusuk. Karena itu diperlukan sikap sabar dan nasehat yang baik dalam membimbing mereka menuju kehidupan yang baik.










DAFTAR PUSTAKA

Tafsir Al Quran Tematik, Peran dan Kedudukan Perempuan, Jakarta: Aku Bisa, 2012
Abuzzuhry.com. Menjadi Suami Idaman Isteri. html
محمد بن اسماعيل البخارى, صحيح بخارى,بيروت : دار ابن كثير, جزء.6
النسائي, سنن كبرى للنسائي, بيروت : دار الكتاب العلمية, جزء.6
احمد بن على بن حجر ابوالفضل العثقلانى الشافعي, فتح البارى شرح صحيح بخارى, دار المعرفة,بيروت, جزء4












[1] H. Mahrus Ali, Terjamah Riyadhush shalihin 1 (Surabaya, Al-Hidayah, 1997). Hal: 367.
[4]محمد بن اسماعيل البخارى, صحيح بخارى,بيروت : دار ابن كثير, جزء.6  
[5]النسائي, سنن كبرى للنسائي, بيروت : دار الكتاب العلمية, جزء.6
[6] ,جزء 4 احمد بن على بن حجر ابوالفضل العثقلانى الشافعي, فتح البارى شرح صحيح بخارى, دار المعرفة,بيروت
[7]Abuzzuhry.com. Menjadi Suami Idaman Isteri. html
[8]Ibid. Hal.36-37

Tidak ada komentar: