BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Didalam akad
pernikahan terjadilah suatu ikatan yang sangat erat sekali antara yang satu
dengan yang lain, baik itu secara dlahir maupun bathin. Dari ikatan tersebut,
Diantaranya adalah adanya hak dan kewajiban harus dipenuhi diantara keduanya.
Salah satu bentuk hak dan kewajiban tersebut adalah kewajiban seorang istri
untuk taat kepada suaminya, karena didalam suatu keluarga yang menjadi pemimpin adalah suami, maka dari
itu seluruh anggota keluarga harus taat kepada pemimpin tersebut, (dalam hal
ini yang menjadi pemimpin adalah seorang suami ).
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
bunyi Hadist serta terjemahnya yang menerangkan tentang kewajiban seorang istri
untuk taat kepada suaminya ?
2.
Bagaimana
biografi rowi dalam hadits tersebut ?
3.
Bagaimanakah
Tahlilu Lafdzi, Tahrijul Hadits, Syarah dan Fiqih haditsnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ: لَايَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَاشَاهِدٌإِلَّابِإِذْنِهِ .مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ
لِلْبُخَارِيِّ وَزَادَ أَبُودَاوُدَ: غَيْرَرَمَضَانَ[1]
Artinya:
Dari Abu
Huroiroh r. a. bahwasannya Rosululloh SAW
bersabda: “Orang perempuan tidak halal berpuasa ketika suaminya di rumah, kecuali dengan seizin suami.”
(HR. Bukhori dan
Muslim. Lafal hadits menurut Bukhari. Abu Dawud menambahkan: “ kecuali dibulan Romadlon.”) [2]
B.
Biografi Perowi Hadits.
1.
Abu Hurairah:
Menurut pendapat mayoritas,
nama beliau adalah 'Abdurrahman
bin Shakhrad Dausi. Pada masa jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada
pula yang berpendapat lain. Kunyah-nya Abu
Hurairah (inilah yang masyhur) atau Abu Hir, karena memiliki seekor kucing kecil
yang selalu diajaknya bermain-main pada siang hari atau saat menggembalakan kambing-kambing milik keluarga dan kerabatnya, dan beliau simpan di atas pohon pada malam harinya. Tersebut dalam Shahihul Bukhari, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah memanggilnya, “Wahai,
Abu Hir”.
Ahli hadits telah sepakat, beliau adalah sahabat
yang paling banyak meriwayatkan hadits.
Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa, dalam Musnad Baqiy
bin Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Selain meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau Radhiyallahu 'anhu juga meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar,
al Fadhl bin al Abbas, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Bushrah al
Ghifari, dan Ka’ab al Ahbar Radhiyallahu 'anhum.
Ada sekitar 800 ahli ilmu dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
dan beliau Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan beribu-ribu hadits. Namun, bukan berarti beliau
yang paling utama di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Imam
asySyafi’i berkata,"Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu adalah orang yang paling hafal dalam meriwayatkan
hadits pada zamannya (masasahabat).” Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu masuk
Islam antara setelah perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum perang Khaibar. Beliau Radhiyallahu
'anhu datang keMadinah sebagai muhajirin dan tinggal di Shuffah.[3]
2.
Imam Abu
Dawud:
Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman
bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi
as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan.
Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan.[4]
Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama
untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang
keberbagai negeri. Dia belajar hadits dari
para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar,
Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya kebeberapa negeri itu menunjang dia
untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu
ditulis pada kitab Sunan.
Abu Dawud sudah berulang kali
mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits danfiqih dengan menggunakan
kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits
terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat
bagus. Guru-gurunya Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya
yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar
ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisidan
lain--lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Muslim, seperti
Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id..[5]
C.
Makna Hadits Secara
Global :
Tidak halal bagi seorang perempuan (istri) melakukan puasa sunnah
tanpa mendapatkan izin dari suaminya, karena suami memiliki hak untuk istimta’
atau menjima’ istrinya setiap waktu dan hak tersebut berhukum wajib untuk dilakukan
dengan segera, maka dari itu hak tersebut tidak bisa didahului oleh perbuatan sunnah
seperti halnya hak tersebut tidak terputus sebab melakukan perkara wajib yang
dilakukan secara menunda – nunda seperti menqodo’ puasa ramadhan, puasa kafarat,
danpuasa nadzar. Jika seorang istri melakukan puasa (sunnah) tanpa mendapatkan izin
dari suaminya, maka puasanya dianggap sah, walaupun puasa tersebut haram untuk dilakukan,
keharaman tersebut dikarenakan adanya makna lain, bukan karena arti yang kembali
kepada dzatiyah puasa itu sendiri, maka hal ini dicontohkan seperti halnya melakukan
sholat didalam rumah ghasaban. Seperti keterangan yang dipahami dari hadist yang
menerangkan tentang suami yang mana ia tidak ada dirumah, maka bagi istri boleh melakukan puasa dan dalam
hal ini tidak ada perbedaan pendapat karena sebab larangannya tidak ada.[6]
D.
Attahlil Al Lafdziy :
1.
لَايَحِلُّ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَاشَاهِدٌإِلَّابِإِذْنِه
Tidak diperbolehkan
bagi seorang istri melakukan puasa sunnah, sedangkan suaminya berada dirumah, kecuali
sisuami sudah memberi izin kepada istrinya, maka diperbolehkan melakukan puasa.
2.
Imam Abu Dawud menambahi matan hadist dengan lafadz غَيْرَرَمَضَان . Sedangkan lafadz – lafadz hadist menurut Abu Dawud adalah : قا ل
رسول الله ص.م لا تصوم امرءة وبعلها شاهد الا باءذنه
3.
لا
تصوم امرءة وبعلها شاهد الا باءذنه Seorang istri tidak boleh melakukan puasa sedangkan suaminya berada dirumah, kecuali istri sudah mendapatkan izin dari suaminya, baik izin tersebut secara jelas maupun tersembunyi.
Seakan – akan ia sudah mengetahui keridhoan suaminyadengan izin tersebut.Hal
ini atas dasar karena melakasanakan hak suami itu lebih utama daripada melakukan ibadah sunnah, yaitu dengan berpuasa (melakukan puasa sunnah).[7]
4.
غَيْرَرَمَضَان : Pada bulan Ramadhan seorang istri tetap wajib melakukan puasa (ramadhan) tanpa seizin dari suaminya, karena pada waktu tersebut sisuami juga sedang berpuasa, maka tidak di khawatirkan keinginan suami untuk menjima’ istrinya. Dalam hal ini puasa Nadzar hukumnya disamakan dengan puasa Ramadhan.[8]
E.
Takhrijul Hadits
v أخبرني محمد بن علي قال حدثنا بن اليمان قال أنبأشعيب عن أبي الزيادعن الأعرج عن أبي هريرةقال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم* لايحل للمرأةأن تصوم وزوجهاشاهدإلابإذنه \2920\[9]
v وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي
الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
لَايَحِلُّ لِلْمَرْأَةِأَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَاشَاهِدٌإِلَّابِإِذْنِهِ- مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ (1) .
وَزَادَأَبُودَاوُدَ:
- غَيْرَرَمَضَانَ - (2) .[10]
v أخْبَرَنَا عَبْدُالْوَاحِدِ الْمَلِيحِيُّ، أَنْبَأَنَا أَحْمَدُبْنُ
عَبْدِاللَّهِ النُّعَيْمِيُّ، أَنْبَأَنَامُحَمَّدُبْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُبْنُ
إِسْمَاعِيلَ، أَخْبَرَنَا أَبُوالْيَمَانِ، أَنْبَأَنَاشُعَيْبٌ، أَخْبَرَنَاأَبُوالزِّنَادِ،
عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ : لايَحِلُّ لِلْمَرْأَةِأَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَاشَاهِدٌإِلابِإِذْنِهِ، وَلاتأْذَنُ فِي بَيْتِهِإِلابِإِذْنِهِ، وَمَاأَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍمِنْ غَيْرِأَمْرِهِ، فِإِنَّهُ
يُؤدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ هَذَاحَدِيثٌ مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ.[11]
v وعن أبي هريرة رضي الله عنه
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " لايحل
للمرأة" أي المزوجة بدليل قوله "أن تصوم وزوجهاشاهد"
أي حاضر "إلابإذنه" متفق عليه
واللفظ للبخاري زادأبوداودغيررمضان فيه دليل على أنالوفاءبحق الزوج أولى من التطوع
بالصوم وأمارمضان فإنه يجب عليه او إنكره الزوج ويقاس عليه القضاءفلوصامت النفل بغيرإذنه
كانت فاعلةلمحرم[12]
v لايحل لامرأةمؤمنة
ملتزمة بالكتاب والسنة وملتزمة بحق الزوج عليها أن تصوم وزوجهاحاضرإلابإذنه
إلارمضان، وصوم المرأةهوكصوم الرجل، فعندهارمضان وعندهاعدةمن
أيام أخر، وعندهاكفارة، وعندهانوافل الصوم، مثل صيام ثلاثة أيام من كل شهر، وعاشوراء،
والإثنين والخميس، فإذاكان صوم المرأة فرضاًمعيناًفليس للزوج منعها، مثاله: نذرت أن تصوم
يوم مجيءولدهامن السفر،فجاءفصامت؛لأنهاتعين عليهاالصوم يوم مجيئه، كأن جاء بالليل وبيتت
الصوم وأصبحت صائمة، فبمجيءولدهاأصبحت ملزمة بالنذروهوفرض عليهالايحق للزوج أن يمنعها؛
لأنه فرض محددبزمن، ولومنعهافسيفوت النذرعليها، أماماعداذلك، كقضاءرمضان فليس محدداًبزمن؛
لأنه ناكعدةمن أيام أخر،وهاهي أمالمؤمنين عائشة رضي الله تعالى عنهاكانت يكون عليهاقضاءمن
رمضان، وتأجله إلى أن يأتي شعبان حينمايكثرصوم رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولذاقالت: لم كانة رسول
الله مني؛لأن الرسول الله دورة على زوجاته،فإذاجاء دورها وجدها غيرصائمة.
وكذلك رمضان لايحق له
منعها؛لأن وقته مجدود،وهوحق لله فرضه عليهاوعليه،فلايحق له أني منعها؛لأن أذنهابيدهاوأمرهامن
عندالله،إذاً: لايحق لامرأةأن تصوم غيررمضان، وغيرما يساوي رمضان من النذرالمعين إلابإذن
زوجها،وأماغيرذلك فالأولى أني سمحلها؛لأن الله تعالى يقول:
{ وَتَعَاوَنُواعَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوَى }
[المائدة:2]،ولاينبغي أني ضيق عليهاويمنعها.[13]
F.
Fiqhul Hadits
1.عدم
خروج المرءة عن طا عة زوجها حتى في امورالعبادة غيرالفرض لتاءكيد حقه عليها لاءن
الوفاء بحق الزوج اولى من االتطوع با لصوم .
1.
seoarang istri
tidak boleh keluar dari melakukan taat kepada sang suami sampai didalam masalah-masalah
ibadah yang bukan fardlu, hal ini disebabkan oleh kuatnya hak suami atas seoarang
istri. Karena melakasanakan hak suami itu lebih utama dari pada melakukan ibadah
sunnah yaitu dengan berpuasa (melakukan puasa sunnah).
2.وجوب صوم رمضا ن وان كره الزوج.
2.
bagi seorang istri
tetap diwajibkan melakukan puasa pada bulan ramadlan, meskipun suaminya tidak suka.[14]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø
Hadits
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: - لَايَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَاشَاهِدٌإِلَّابِإِذْنِهِ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ .وَزَادَأَبُودَاوُدَ: غَيْرَرَمَضَانَ
Tidak halal bagi orang perempuan yang sudah bersuami melakukan puasa
(sunnah), sedangkan suaminya berada dirumah, tanpa seizin dari suaminya. Hal
ini atas dasar karena melakasanakan hak suami itu lebih utama daripada melakukan
ibadah sunnah yaitu dengan berpuasa (melakukan puasa sunnah). Adapun pada bulan
romadlon, ia tetap diwajibkan melakukan puasa,
walaupun suaminya tidak suka, disini juga disamakan melakukan qodlo’ puasa romadlon.
Maka apabila seorang istri melakukan puasa (sunnah) tanpa mendapatkan izin dari
suaminya, maka ia berarti melakukan sesuatu yang telah diharamkan baginya.
Ø Pertanyaan
1. Aspek Tarbawi : kami selaku pemakalah mengambil aspek tarbawinya dari bunyi
hadits إِلَّابِإِذْنِهِ , yang mana disini kami mengartikan bunyi penggalan hadits tersebut dengan
arti “ taat “. Bila dicontohkan didalam kehidupan , kita disini adalah seorang
santri, dan santri itu harus taat kepada pengasuh dan peraturan pondok.
Misalnya, kita dipondok tidak boleh pulang tanpa meminta izin dulu kepada
pengasuh, maka itu berarti melanggar pondok dan pengasuh.
2. Mengapa didalam hadits tersebut Rasulullah memakai contoh puasa, kenapa
tidak dengan contoh yang lainnya ?
Menurut kami :
Puasa ini adalah merupakan suatu ibadah yang bertentangan dengan hawa nafsu,
sehingga jika seorang istri melakukan puasa sunnah tanpa seizin suami maka itu
tidak boleh untuk dilakukan, sebab jika siistri melakukan puasa sunnah maka
seandainya suami ingin menjima’ istrinya maka suami tidak jadi menjimak
istrinya karena ia sedang melakukan puasa. Sehingga jika istri tetap melakukan
puasa sunnah tersebut, maka terhalanglah hak suami atas istrinya. Beda lagi
dengan puasa Romadhan, si istri harus tetap melakukan puasa romadhan meskipun
suaminya melarangnya.
3. Pada fiqhul Hadits kedua, disitu disebutkan وان
كره الزوج jika pada bulan romadhan suaminya tidak suka kalau istrinya melakukan puasa
romadhan bahkan melarangnya untuk berpuasa, maka apakah suami yang seperti ini
masih wajib untuk di taati ?
Menurut kami :
jadi model suami seperti ini sudah tidak wajib di taati, karena ia sudah
melenceng dari ajaran agama islam. Seharusnya jadi suami itu harus lebih pandai
dari seorang istrinya dalam hal ilmu agama sehingga sewaktu-waktu istrinya lupa
maka suaminya harus mengingatkannya.
4. Bagaimana jika konteks tersebut di balik, yang meminta adalah dari pihak
istri, sedangkan suaminya sedang berpuasa, apakah hadits ini bisa di pakai
sebagai acuan pada masalah tersebut ?
Menurut kami :
ya bisa, hadits ini bisa dipakai sebagai acuan pada masalah tersebut. Kita
seorang suami, hendaknya mengerti (pengertian) kepada istri. Karena apa ?
karena hal tersebut guna untuk menyenangkan hati sang istri. Hal ini dapat di
contohkan / di qiyaskan pada hadits Nabi yang menerangkan tentang Nabi berpuasa
ketika dirumah Aisyah tidak ada makanan, kemudian pada keesokan harinya Aisyah
merasa bersalah karena ketika dirumahnya Aisyah tidak ada makanan yang untuk di
berikan kepada Nabi, sehingga keesokan harinya Aisyah berusaha pada hari itu
dirumahnya ada makanan untuk Nabi. Singkat cerita pada hari tersebut Nabi
datang ke rumah Aisyah, dan Aisyahpun menyambutnya dengan riang gembira, ketika
Aisyah menawarkan makanan kepada Nabi ternyata Nabi berpuasa lagi. Sehingga
Aisyah merasa kecewa, kerena Nabi sedang berpuasa. Ketika itu Nabi merasakan
kekecewaan Aisyah dan untuk menyenangkan hati Aisyah Nabipun membatalkan
puasanya dan mengajak Aisyah untuk makan bersama-sama. Dan Aisyahpun merasa
sangat senang sekali, karena bisa makan bersama Rasulullah SAW.
Ø
Kritik dan
Saran
Demikianlah pemaparan makalah dari kami, atas segala kekurangan dan kelebihan
kami hanya bisa memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan
saran selalu kami harapkan demi perbaikan makalah kami mendatang.
الحمد لله رب العالميـن
[1] Alawi Abbas
Al-Maliky. Ibanatul ahkam syarhu bulughil maram. Pustaka Al-Haromain. Hal: 421
[2] Achmad
Sunarto. Terjemah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Amani. Hal: 324
[3] http://pustakaimamsyafii.com/biografi-abu-hurairah-radhiyallahu-anhu.htm
[4] http://solihin87.abatasa.co.id/post/detail/8914/biografi-imam-abu-dawud
[5] http://solihin87.abatasa.co.id/post/detail/8914/biografi-imam-abu-dawud
[10] Abbas
Al-Maliky. Ibanatul ahkam syarhu bulughil maram. Pustaka Al-Haromain. Hal: 421
[13]شرح بلوغ
المرام للشيخ عطية محمد سالم. حكم صيا م المرءة مع وجود زوجها ج 154 /ص 6 .
al-Maktabah as-Syamilah
[14] Abbas
Al-Maliky. Ibanatul Ahkam Syarhu Bulughil Maram. Pustaka Al-Haromain. Hal: 422
Tidak ada komentar:
Posting Komentar