Rabu, 27 Agustus 2014

hadits لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا،


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan berkeluarga memang tidaklah selalu mulus. Kadang suatu  masalah itu timbul karena mulai terjadi ketidakcocokan antara suami dan istri. Terlebih ketika mereka telah menemukan masing-masing kekurangan atau bahkan aib yang sebenarnya telah  menjadi kecenderungan manusia, karena tidak ada manusia yang sempurna. Dan di sisi lain pasti setiap manusia itu memiliki kelebihan yang kadang tidak kita sadari karena yang tampak hanyalah kekurangan yang telah menutup sisi lain yang lebih berharga dan terlupakan.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النساء: 19)
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik. Jika kalian tidak menyukai mereka maka bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Dalam ayat ini Allah ingin mengingatkan dengan perintah-Nya kepada para lelaki supaya mereka bergaul dengan pasangan mereka dengan baik. Tidak semena-mena. Sebenci apapun harus tetap baik kepada mereka. Sebab bisa saja lelaki membenci istrinya padahal banyak kebaikan yang ada pada istri tersebut. Ayat ini meski berkaitan dengan suami istri, tetapi juga berlaku dalam berbagai aspek dalam bergaul kepada orang lain. Bila kita membenci sesuatu, maka jangan lupa bahwa bisa saja Allah menjadikan banyak kebaikan dalam apa yang kita benci. Sehingga di sini kita diingatkan untuk selalu obyektif dan tidak berlebihan dalam membenci sesuatu atau seseorang.
Dari fenomena tersebut kami menyusun makalah ini dengan judul “Pandanglah Wanita dengan Adil”. Agar tidak dipenuhi dengan rasa kebencian. Maka dalam keadaan segenting apapun masalah dalam rumah tangga kita harus tetap bersikap adil. Dan dengan keadilan itu berarti kita harus memandang permasalahan, melakukan hal, menentukan tindakan, dan mempertimbangkan keputusan dengan sepatutnya. Sehingga hubungan rumah tangga pun dapat terhindar dari perceraian yang menjadi jalan yang dihalalkan tetapi juga paling dibenci oleh Allah SWT.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah hadits, terjemah, biografi perowi serta takhrijul hadits tentang larangan membenci istri?
2.      Bagaimanakah tahlil lafdhi dan syarahul hadits tentang larangan membenci istri?
3.      Bagaimanakah Fiqhul hadits tentang larangan membenci istri?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits dan Terjemah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا، رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ ")) أو قال : (( غيره )) رواه مسلم[1]
Artinya:Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda: seorang suami mukmin tidak boleh membenci istri mukminah, sebab apabila dia membenci satu akhlak dari istrinya tersebut maka dia pasti ridha dengan akhlaknya yang lain (HR. Muslim).[2]
B.     Takhrijul Hadits
Hadits I :
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنِي عِمْرَانُ بْنُ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا، رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ "

الأساند:
أَبِي هُرَيْرَةَ               : صحابى
عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ          : ثقّة
عِمْرَانُ بْنُ أَبِي أَنَسٍ     : ثقّة
 عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ   : ثقّة
أَبُو عَاصِمٍ              : ثقّة
v    حكم اساند      : اسناده متصل, رجاله ثقات, رجاله رجال مسلم

Hadits II :
وحَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، حدثنا عِيسَى يَعْنِي ابْنَ يُونُسَ، حدثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: " لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ "، أَوَ قَالَ غَيْرَهُ، وحدثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حدثنا أَبُو عَاصِمٍ، حدثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا عِمْرَانُ بْنُ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِمِثْلِهِ
الأساند:
أَبِي هُرَيْرَةَ               : صحابى
عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ          : ثقّة
عِمْرَانُ بْنُ أَبِي أَنَسٍ     : ثقّة
 عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ   : ثقّة
عِيسَى ابْنَ يُونُسَ       : ثقّة
إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ : ثقّة
v    حكم اساند             : اسناده متصل, رجاله ثقات, رجاله رجال مسلم
C.    Biografi Rowi
Bergelar hujjatul islam Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim al Qusyairi an Naisaburi. Al Qusyairi merupakan nama dari salah satu kabilah Arab yang cukup terkenal . sedang Naisabur adalah sebuah daerah dibagian utara wilayah Iran, disanalah tempat kelahiran Imam Muslim pada tahun 204 H. ( sebagian mengatakan 206 H )
Para ulama sepakat akan ketokohan serta ke dalam ilmu Imam Muslim tentang hadis. Sebagaimana para imam hadis lain, beliau juga telah banyak  melakukan perjalanan studi hadis. Diantara guru besar tempat ImamMuslim menimba ilmu dan mendengar hadis tercatat Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Rohuwaih di Khurosan, Sa’id bin Mashur dan Abu Mush’ab di Hijaz, Ahmad bn Hanbal dan Abdullah bin Maslamah di Iraq, ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya di Mesir serta beberapa yang lain.
Imam Bukhori  juga termasuk guru hadis yang ikut menempa keahlian hadis Imam Muslim, meskipun banyak dari guru-guru al-Bukhori yang juga merupakan guru dari Imam Muslim. Sebab itu, tidak mengherankan bila kemudian sebagian dari koleksi hadis-hadis dalam shohih Muslim “ menyerupai” koleksi hadis-hadis dalam Shohih Bukhori melalui jalur sanad yang bertemu pada nama Sahabat Nabi saw yang sama ( muttafaq ‘alaih). Memang, Imam Muslim sangat menaruh hormat terhadap al Bukhori selaku guru hadis sekaligus pembimbing beliau terutama dalam usaha menyusun Shohih  Muslim. Ini, terlihat jelas ketika Muhammad bin Yahya ad Dzhuhali (guru senior Imam Muslim) pernah terlihat konflik paham dengan Imam Bukhori tentang suatu masalah. Sikap memihak kepada al Bukhori pun ditunjukkan Imam Muslim seketika itu dengan melepas ikatan keguruan dengan ad Dzhuhali dan tidak satupun hadis darinya yang dicantumkan Imam Muslim dalam kitabnya.
Imam Muslim juga sering singgah lama di Baghdad dalam rangka studi hadis, terakhir pada tahun 259 H atau dua tahun menjelang ajalnya. Hal ini menunjukkan egigihan beliau dalam keilmuan. Halaqoh (majelis belajar) hadis Imam Musim telah elahirkan tokoh-tokoh hadis yang cukup handal untuk generasi sesudahnya.  Antara lain Abu Isa at Tirmidzi, Abu Hatim ar Rozi, ‘Awwanah al Isfiroyini, Musa bin Harun Ahmad bin Salamah Abu Bakar bin Huzaimah serta ulama lain.
Imam Muslim wafat pada hari Ahad tanggal 25 Rajab tahun 261 H. dalam usia 55 tahun dan dimakamkan di daerah Nasarabad, Naisabur. Beliau wafat pada pagi hari setelah semalaman penuh berusaha mencari teks sebuah hadis yang dipertanyakan orang padanya. Sekalipun pada akhirnya teks hadis dimaksud dapat ditemukan dalam kumpulan naskah hadis beliau pada pagi harinya.
Sebagai seorang ulama, beliau terbilang sangat produktif dalam menulis. Diantara yang sempat beliau susun adalah kitab al Musnad al Kabir ‘ala asma’ir Rijal, al Jami’al Kabir alal Abwab, al Ilal, Auhamul Muhaddisin, at Tamyiz dan lain sebagainya. Namun yang paling popular dari karya karya beliau adalah kitab as Shohih, atau biasa disebut dengan Shohih Muslim.[3]
D.    Tahlilul Lafdli
 ))يفرك )) هو بفتح الياء وإسكان الفاء وفتح الراء معناه : يبغض ، يقال : فركت المرأة زوجها، وفركها زوجها ، بكسر الراء ، يفركها بفتحها : أي أبغضها ، والله أعلم[4]
قوله لا يفرك مؤمن مؤمنة بفتح الياء والراء وقد تضم الراء أصله في النساء يقال فركت المرأة زوجها تفركه بكسر الراء في الماضي وفتحها وضمها في المستقبل فركا وفركا وفروكا إذا أبغضته واستعماله في الرجال قليل وفي رواية العذرى لا يفرك مؤمن من مؤمنة ومن هنا زائدة وهما وأراها تكررت الميم والنون من مؤمن وقد حكى الفرك عاما في الرجال والنساء قال يعقوب الفرك البغض ومنه قولهم أنها حسناء فلا تفرك [5]
E.     Syarhul Hadits 
(( لا يفرك مؤمن مؤمنة، إن كره منها خلقاً رضي منها خلقاً آخر )) .
الفرك : يعني البغضاء والعداوة ، يعني لا يعادي المؤمن المؤمنة كزوجته مثلاً ، لا يعاديها ويبغضها إذا رأى منها ما يكرهه من الأخلاق ، وذلك لأن الإنسان يجب عليه القيام بالعدل ، وأن يراعي المعامل له بما تقتضيه حاله ، والعدل أن يوازن بين السيئات والحسنات ، وينظر أيهما أكثر وأيهما أعظم وقعاً ، فيغلب ما كان أكثر وما كان أشد تأثيراً ؛ هذا هو العدل .[6]
Lafadh الفرك berarti kebencian dan permusuhan, janganlah seseorang mu’min membenci mu’minah semisal adalah istrinya sendiri. Janganlah memusuhi istri dan membencinya jika mendapati satu akhlaq yang tidak menyenangkan, karena manusia seharusnya bersikap adil dan mempertimbangkan keadaan yang menuntut perbuatan yang ia lakukan. Adil ketika menimbang antara perbuatan-perbuatan baik dan perbuatan-perbuatan buruk serta melihat banyak manakah dan lebih besar manakah di antara keduanya. Maka apa yang lebih banyak dan lebih kuat pengaruhnya itu mengalahkan yang lain. Inilah keadilan itu.
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا ج اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ)[المائدة:8]
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi Qowwaamiin karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap satu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena ia lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Maidah:8)[7]
Ayat di atas menyatakan bahwa adil lebih dekat dengan kepada taqwa. Perlu dicatat bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjuk substansi ajaran Islam. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntunan tertinggi, Islam tidak demikian. Ini, karena kasih dalam kehidupan pribadi apalagi masyarakat dapat berdampak buruk. Bukankah jika anda merasa kasihan kepada seorang penjahat, anda tidak akan menghukumnya? Adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih, maka dengan berlaku adil anda dapat mencurahkan kasih kepadanya. Jika seseorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang berat, maka ketika itu kasih tidak boleh berperan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum atasnya. Ketika itu yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukuman setimpal atasnya. [8]
Ayat ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikian Lah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil atau balasan yang mereka harapkan. Dalam persaksian, mereka harus adil menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan dan merugikan sahabat dan kerabat.[9]
إذا أساءت مثلاً في ردها عليك مرة ، لكنها أحسنت إليك مرات ، أساءت ليلة لكنها أحسنت ليالي ، أساءت في معاملة الأولاد مرة ، لكن أحسنت كثيراً . . وهكذا. فأنت إذا أساءت إليك زوجتك لا تنظر إلى الإساءة في الوقت الحاضر ، ولكن انظر إلى الماضي وانظر للمستقبل واحكم بالعدل . وهذا الذي ذكره النبي صلى الله عليه وسلم في المرأة يكون في غيرها أيضاً ممن يكون بينك وبينه معاملة أو صداقة أو ما أشبه ذلك ، إذا أساء إليك يوماً من الدهر فلا تنس إحسانه إليك مرة أخرى وقارن بين هذا وهذا ، وإذا غلب الإحسان على الإساءة ؛ فالحكم للإحسان ، وإن غلبت الإساءة على الإحسان فأنظر إن كان أهلاً للعفو فاعف عنه، وإن عفا وأصلح فأجره على الله ، وإن لم يكن أهلاً للعفو ؛ فخذ بحقك وأنت غير ملوم إذا أخذت بحقك ، لكن انظر للمصلحة.[10]
Jika istri melakukan kesalahan (berbuat buruk) misalnya satu kali menolakmu, tetapi ia sering kali berbuat baik kepadamu. Ia melakukan kesalahan pada suatu malam, tetapi berbuat baik pada beberapa malam. Sekali berlaku buruk pada anak-anak, tetapi ia banyak berbuat baik pada mereka. Maka janganlah melihat keburukannya pada waktu itu saja, lihatlah pada waktu yang telah lalu begitu juga pada waktu yang akan datang, dan pertimbangkanlah dengan adil. Hal ini disebutkan oleh Rosulullah untuk perempuan dan juga untuk siapa saja yang di antaranya terdapat hubungan mu’amalah, persahabatan dan lain sebagainya. Jika suatu hari seseorang tersebut berbuat buruk maka janganlah melupakan kebaikan-kebaikannya pada kesempatan yang lain. Kaitkanlah antara satu hal dengan hal lainnya, jika kebaikan mengalahkan keburukannya maka pertimbangkanlah karena kebaikannya, dan jika keburukan mengalahkan kebaikannya maka lihatlah jika ia patut untuk dimaafkan, maka maafkanlah, jika memaafkan dan berdamai niscaya pahala itu dari Allah. dan jika ia tidak patut lagi untuk dimaafkan maka ambillah tindakan dengan keadilanmu dan engkau tidaklah tercela melainkan engkau dipandang baik.
فالحاصل أن الإنسان ينبغي له أن يعامل من بينه وبينهم صلة من زوجته أو صداقة أو معاملة ، في بيع أو شراء أو غيره ، أن يعامله بالعدل إذا كره منه خلقاً أو أساء إليه في معاملة ، أن ينظر للجوانب الأخرى الحسنة حتى يقارن بين هذا وهذا ، فإن هذا هو العدل الذي أمر الله به ورسوله كما قال الله تعالى : ( إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ) [النحل:90] [11]
Kesimpulannya setiap manusia seharusnya menciptakan hubungan yang baik pada istrinya, dan kepada siapa saja yang memiliki hubungan persahabatan, hubungan pekerjaan, jual beli dan lain-lain. Bersikap adil jika tidak menyukai suatu perangai (budi pekerti) atau keburukan dari perbuatannya. Lihat beberapa sisi lain yang baik kemudian hubungkan antara satu perbuatan dan perbuatan lainnya. Sesungguhnya inilah keadilan yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Sebagaimana firman Allah: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu mendapat pengajaran.
F.      Fiqhul Hadits
Dari beberapa penjelasan tersebut maka hal-hal yang dapat kami simpulkan pada fiqhul hadis ini adalah:
1.      Larangan bagi suami untuk membenci istri karena kesalahan-kesalahan yang belum sebanding dengan kebaikan-kebaikannya.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
2.      Kebaikan-kebaikan wanita terhadap suaminya hendaklah dijadikan sebagai bahan pertimbangan ketika wanita melakukan kesalahan yang mengecewakan atau bahkan menyakiti suami.
3.      Meskipun dalam hadis ini menyerukan kepada suami untuk berusaha mempertimbangkan dan mentolerir kesalahan istrinya. Tetapi ini tidak semerta-merta memberikan kelonggaran kepada sang istri untuk berbuat tidak taat kepada suami.
4.      Terdapat tiga pertimbangan yang perlu diperhatikan untuk menentukan keputusan atau tindakan ketika terdapat kesalahan yang di lakukan istri atau suami, teman atau sahabat, rekan kerja dan lain sebagainya, yaitu:
1)      Jika ia lebih banyak berlaku baik dari pada berlaku buruk, maka berikanlah keputusan atau kebijakan yang pantas karena dia lebih banyak kebaikannya.
2)      Jika ia lebih banyak berlaku buruk, maka pertimbangkan jika ia masih patut untuk dimaafkan, maka maafkanlah.
3)      Jika tidak patut untuk dimaafkan, maka ambillah keputusan dengan adil dan maslahat.
5.      Mengambil keputusan apapun harus dengan sikap adil.
6.      Adil merupakan substansi ajaran islam dan merupakan sifat yang dekat dengan ketaqwaan.
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
7.      Keadilan tidak dapat dihubungkan dengan rasa benci. Yaitu untuk bersikap adil seseorang yang menentukan keputusan harus mempertimbangkannya secara obyektif tanpa dipengaruhi rasa benci.
8.      Rasulullah menyerukan hadis ini agar kita terus menjaga dan membina rumah tangga dan dan tali silaturrahim dengan baik dan adil. Sehingga hubungan tersebut tumbuh dengan harmonis dan jauh dari perceraian dan permusuhan.
9.      Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya selalu cermat, jujur, dan ikhlas karena Allah, baik dalam mengerjakan pekerjaan yang bertalian dengan agama Allah maupun dengan urusan duniawi.
10.  Harus adil dalam memberikan persaksian tanpa melihat siapa orangnya, walaupun akan merugikan diri sendiri, sahabat,dan kerabat.
 BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Larangan membenci seorang istri dengan melihat satu sisi saja melainkan harus melihat dari beberapa kebaikan yang pernah dia lakukan adalah anjuran Allah dan Rosulnya. Langkah ini membutuhkan sikap adil, baik dari cara memandang permasalahan, melakukan hal, menentukan tindakan, dan mempertimbangkan keputusan dengan sepatutnya. Sehingga hubungan rumah tangga pun dapat terhindar dari perceraian yang menjadi jalan yang dihalalkan tetapi juga paling dibenci oleh Allah SWT.
Meski pembahasan di sini berkaitan dengan suami istri, tetapi juga berlaku dalam berbagai aspek dalam bergaul kepada orang lain. Bila kita membenci sesuatu, maka jangan lupa bahwa bisa saja Allah menjadikan banyak kebaikan dalam apa yang kita benci. Sehingga di sini kita diingatkan untuk selalu obyektif dalam permasalahan apapun.

B.     Kritik dan Saran
Hadits tersebut menggambarkan betapapun wanita yang menjadi istri tidak selalu dapat berada pada posisi yang diharapkan. Karena terkadang kesalahan-kesalahan yang ia perbuat pun melampaui batas yang tidak disenangi suami. Bukan berarti suami itu harus selalu memaafkan kesalahan-kesalahan istri tanpa memberi bimbingan kepadanya agar ia tidak mengulangi kesalahannya saja. Akan tetapi sebenarnya hadits tersebut juga menampakkan bahwa kedudukan suami adalah Qowwamuun. Ia yang menentukan kebijakan dan ia tertuntut pada sikap adil dalam memberikan kosekwensi apapun.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahnya, Menara Qudus.
Binothaimeen.com - فضيلة الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين رحمه الله
Bisri, Abid dan Munawwir A. Fattah. 1999. Kamus Al-Bisri: Arab-Indonesia Indonesia-Arab. Surabaya: Pustaka Progressif.
Kementrian Agama RI. 2010. Al-Quran dan Tafsirnya, jilid II, Jakarta: Lentera Abadi.
Maktabah Syamilah, Masyariqul anwar ala shihahil atsar,juz 2.
Misbah A.B, 2010. Mutiara Ilmu Hadis, Kediri : Mitra Pesantren.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati.
Suhaemi, Masrap. Terjemah Riyadlush Sholihin. Surabaya: Mahkota.
Zakariya Yahya, Abi. Riyadlush Sholihin. Surabaya: Al-Hidayah.



[1] Abi Zakariya Yahya, Riyadlush Sholihin, (Surabaya: Al-Hidayah), hlm. 149
[2] Masrap Suhaemi, Terjemah Riyadlush Sholihin, (Surabaya: Mahkota), hlm. 236
[3] Misbah A.B, Mutiara Ilmu Hadis, Kediri : Mitra Pesantren, cet: Pertama, September 2010 hal:319
[4] Binothaimeen.com - فضيلة الشيخ العلامة محمد بن صالح العثيمين رحمه الله
[5]  Maktabah Syamilah, Masyariqul anwar ala shihahil atsar,juz 2 hlm. 151
[6] Maktabah Syamilah, Syarah riyadlus sholihin, juz 1 hal. 324

[7] Al-Qur’an dan terjemahnya, Menara Qudus, hlm. 109
[8] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, Volume 3, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), hlm. 42
[9] Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, jilid II, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 365
[10]Opcid.
[11] Ibid

Tidak ada komentar: