Minggu, 18 Mei 2014

Problematika Penerjemahan

BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 

Telah disebutkan bahwa menerjemah adalah keterampilan yang melibatkan lebih banyak bakat daripada upaya dan teori. Sebab, penerjemahan sangat bergantung pada rasa kebahasaan seseorang. Dan rasa bahasa ini berbeda pada satu individu dengan individu lainnya. Dalam menerjemahkan, analisis terhadap kata akan menuntun penerjemahan dalam menentukan padanan yang paling sesuai dan mengukuhkan keberadaan konsep pergeseran tataran. Tapi, dalam kasus-kasus tertentu, keduanya tidak bisa diterapkan. Dengan kata lain, penerjemah sering dihadapkan pada masalah ketaksepadanan. Jenis dan tingkat kesulitan bergantung pada sifat ketidaksepadanan itu sendiri. Untuk memperjelas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh seorang penerjemah, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa hai tersebut dalam makalah yang berjudul “PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN” 
B. Tujuan. 
1. Untuk mengetahui jenis ketidaksepadanan pada tataran kata. 
2. Untuk mengetahui problematika penerjemahan. 
BAB II PEMBAHASAN 
A. Jenis Ketidaksepadanan Pada Tataran Kata ketaksepadanan pada tataran kata berarti bahwa bahasa sasaran tidak mempunyai padan langsung untuk suatu kata dalam bahasa sumber. Setidaknya ada tujuh jenis ketaksepadanan pada tataran kata. Pertama, konsep khusus budaya.kata dalam bahasa sumber bisa mengungkapkan suatu konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya bahasa sasaran. Konsep yang dimaksud bisa bersifat abstrak maupun konkrit. Seperti bisa dijumpai pada pribahasa, قبل الرماء تملأ الكنائن yang dalam bahasa Indonesia dapat bermakna “sedia payung sebelum hujan” bukan “sebelum pergi memanah tempat panah diisi penuh”. Perbedaan makna seperti ini disebabkan oleh perbedaan budaya Arab dengan budaya Indonesia. Kedua, kata dalam bahasa sumber mungkin tidak tersedia dalam bahasa sasaran. Contoh: - Perbedaan dalam medan makna warna, dalam bahasa Inggris terdapat sepuluh warna dasar, yaitu white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Sedangkan bahasa lain hanya mengenal warna cerah dan warna gelap, atau hanya mengenal empat warna, yaitu merah, kuning, hijau, dan biru. Perbedaan dalam hal ini menimbulkan permasalahan bagi seorang penerjemah dalam mencari padanan. Hal ini bisa karena padanan suatu kata tidak dapat memberikan makna yang tepat dari kata dalam bahasa sumber, atau tidak terdapat padanan kata pada bahasa sasaran. Ketiga, kata dalam bahasa sumber secara semantik bisa sangat kompleks. Keempat, bahasa sasaran tidak mempunyai unsur atasan(superordinat). Bahasa sumber mempunyai unsur bawahan atau kata khusus(hiponim) tetapi unsur atasannya tidak menunjuk pada suatu objek atau konsep. Seperti kata “ قرأ ” berarti aktifitas menghimpun informasi, membaca, meneliti, mencermati, menelaah, dan sebagainya. Kelima, bahasa sasaran tidak mempunyai unsur bawahan atau kata khusus. Keenam, perbedaan dalam perspektif interpersonal dan fisik. Misalnya Bahasa Arab mempunyai padanan untuk kata “kamu”, yang dibedakan antara kamu perempuan dan kamu laki-laki, sedang bahasa Indonesia tidak membedakannya. Ketujuh, perbedaan dalam hal ma’na ekspresif. Sebuah kata baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran bisa memiliki ma’na proposisi yang sama, tetapi ma’na ekspresif(expressive meaning) yang dikandungnya tidak sama. Contoh pemahaman ekspresi “terima kasih” bermakna “tidak mau” dalam situasi jamuan makan. B. Problematika Penerjemahan. Seorang penerjemah pasti akan menghadapi problematika dalam mencari padanan makna dari suatu kata. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari karena tidak mungkin terdapat kesesuaian antara dua bahasa dalam aspek kebahasaan dan non-kebahasaan. Dengan artian bahwa problematika makna yang dihadapi seorang penerjemah muncul akibat perbedaan sistem, baik sistem morfologis, sintaksis dan semantik yang terdapat antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan untuk memperjelas problematika makna yang dihadapi oleh seorang penerjemah tentang perbedaan -baik dari aspek kebahasaan ataupun non kebahasaan- antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa hal, yaitu: 
1. Perbedaan Cakupan Makna Perbedaan ini disebabkan karena satu kata dalam suatu bahasa memiliki lebih dari satu makna, sementara padanannya dalam bahasa yang lain hanya memiliki satu makna. Dalam tingkatan kata semacam ini, kata-kata tersebut mencakup beberapa padanan yang dianggap potensial. Contoh:- Kata ( طويل ) dalam bahasa Arab, dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan kata panjang, seperti: طويل الأجل – panjang masanya. Juga dapat diartikan dengan tinggi, seperti: الرجل طويل – Orang itu tinggi.- Kata (مكتبة ) dapat diartikan Perpustakaan, Toko Buku atau Koleksi buku. 
2. Perbedaan Penggunaan Perbedaan ini karena dua kata yang dianggap sepadan dalam dua bahasa ternyata berbaeda dalam berbagai macam penggunaannya. Seperti: - kata poor padanannya dalam bahasa Arab (فقير ).Kata poor bisa digunakan untuk: poor man, poor boy, poor box, poor opinion, atau poor health, akan tetapi kata (فقير ) sebagai padanannya dalam bahasa Arab hanya dapat digunakan dalam konteks pertama رجل فقير, sementara pada konteks lain kita tidak mungkin menggunakan kata (فقير ). -Kata cut padananya dalam bahawa Arab (يقطع ) Kata cut juga bisa digunakan untuk finger, speech, cheese, hair, atau flowers. Sementara padanannya (يقطع ) tidak dapat digunakan pada semua konteks tadi. Akan tetapi,
 جرح إصبعه، قطع حديثه، قطع الجبن، قص الشعر، قطف الأزهار . 3. Perbedaan dalam Penggunaan Majas Setiap bahasa tidak sama dalam penggunaan majas, karena itulah jika ada majas dalam suatu kaliamat maka tidak dapat diterjemahkan secara harfiah, contoh: - Dalam bahasa Inggris, evening of life adalah majas yang berarti usia tua (masa senja), jika kita terjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Arab dengan (مساء العمر) tentu salah dalam pandangan orang Arab. Karena mereka mengungkapkannya dengan (خريف العمر). - Kata soup sepadan dengan (حساء) dalam bahasa Arab. Namun ungkapan in the soup adalah majas yang berarti berada dalam kesusahan (masalah), jika kita terjemahkan secara harfiah ke bahasa Arab dengan (في حساء) tentunya sangat lucu, karena akan jauh dari makna yang dimaksud yaitu (في مأزق، في مشكلة). Ungkapan-ungkapan majas dalam suatu bahasa biasanya sangat terkait dengan kultur sosial dan budayanya, oleh karena itu terkadang sangat sulit untuk dipahami dan diterjemahkan ke bahasa yang lain. 
4. Perbedaan Medan Makna (semantic field) Medan makna (semantic field) adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya, nama-nama warna, dingin, panas, perabot rumah tangga, atau perkerabatan. Namun banyaknya unsur leksikal dalam satu medan makna antara bahasa yang satu dengan bahasa lain tidak sama besarnya, karena hal itu sangat berkaitan dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa tersebut. Contoh: - Perbedaan dalam medan makna warna, dalam bahasa Inggris terdapat sepuluh warna dasar, yaitu white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey. Sedangkan bahasa lain hanya mengenal warna cerah dan warna gelap, atau hanya mengenal empat warna, yaitu merah, kuning, hijau, dan biru. Perbedaan dalam hal ini menimbulkan permasalahan bagi seorang penerjemah dalam mencari padanan. Hal ini bisa karena padanan suatu kata tidak dapat memberikan makna yang tepat dari kata dalam bahasa sumber, atau tidak terdapat padanan kata pada bahasa sasaran.
5. Perbedaan kultur sosial dan budaya Bahasa berkaitan erat dengan adat, budaya, dan lingkungan sosialnya. Keterkaitan ini menimbulkan beragam makna yang sulit ditemukan padanannya dalam bahasa sasaran, karena perbedaan kultur sosial dan budaya antara dua bahasa. Umpamanya, karena masyarakat Indonesia berbudaya makan nasi, maka dalam bahasa Indonesia ada kata yang menyatakan padi, gabah, beras, dan nasi. Sementara di Inggris atau Arab tidak terdapat keempat konsep tadi, karena orang Inggris atau Arab tidak berbudaya makan nasi, mereka hanya mempunyai kata rice atau الرز . Begitu juga sebaliknya, karena masyarakat Arab berbudaya makan kurma, dalam bahasa Arab ada kata البلح, الرطب, dan التمر. Sementara di Indonesia tidak terdapat keempat konsep tadi, karena orang Indonesia tidak berbudaya makan kurma. Pengaruh kultur sosial dan budaya terhadap bahasa dapat kita lihat juga melalui medan makna yang terdapat dalam suatu bahasa, contoh kata-kata yang berarti tempat duduk (bahasa Inggris), kata-kata yang berarti unta (bahasa Arab). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bahasa inggris terdapat: chair, bench, stool, sofa, love seat, atau pew. Setiap kata ini memiliki makna berbeda dengan yang lain. Hal ini mustahil dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Begitu juga dalam bahasa Arab ada kata جمل, إبل, جذعة, حقة, بنت لبون dan بنت مخاض. Dan hal ini juga mustahil dicari padanannya dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Makna-makna seperti ini sangat sulit dicarikan padanannya, karena setiap masing-masing bahasa memiliki kultur sosial dan budaya yang berbeda. Jika terdapat kesamaan atau kedekatan kultur sosial dan budaya antara dua bahasa, makna-makna tadi mungkin dapat diterjemahkan. Namun apabila kedua bahasa berlainan kultur sosial dan budaya, makna-makna tersebut pasti akan menimbulkan permasalahan bagi seorang penerjemah. 
 Menurut Ibnu Burdah persoalan-persoalan dalam menerjemah adalah: 
1. Persoalan kosa kata Kosa kata merupakan hal yang penting dalam penerjemahan, bahkan teramat penting. Ia menjadi bahan dasar untuk membangun sebuah teks yang akan diterjemah dan teks hasil terjemahan. Pada bagian ini, problem kosa kata yang dibahas hanya mencakup kosa kata teks sumber, atau teks yang akan diterjemah. Solusi : a. Memanfaatkan kamus, baik buku maupun alat elektronik. Namun dalam hal penggunaan kamus, perlu pula untuk bertanya kepada ahli bahasa Arab atau native. b. Sebaiknya memilih kamus yang proposional, serta relevan dengan tingkat kesulitan dan jenis materi teks sumber. c. Dalam kamus Arab-Indonesia, kamus Arab-Inggris, atau kamus Arab ke dalam bahasa lain, urutan kosa kata dalam kamus-kamus tersebut secara umum dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kamus dengan urutan kosa kata Arab yang dikembalikan kepada kata pokoknya yakni fi’il Madli (kata kerja lampau). d. Untuk menghemat waktu, atau agar tidak terlalu sering membuka kamus, penerjemah sebaiknya tidak tergesa-gesa mencari di kamus ketika menemukan kosa kata yang belum diketahui artinya. Bacalah dahulu berulang-ulang, dan teruskan membaca teks berikutnya. Sebab, penerjemah bisa jadi akan menemukan arti kosa kata tersebut pada konteks kalimat lain. e. Tips lain agar tidak terlalu sering membuka kamus adalah menjaga hafalan setiap kosa kata yang pernah dilihat dari kamus. f. Di dalam kamus Arab-Indonesia sering dijumpai satu kata Arab memiliki makna yang cukup banyak. Penerjemah harus memilih salah satu makna yang dipandang paling tepat dan sesuai dengan konteks kalimat dan arah teks yang diterjemahkan. g. Kosa kata yang menjadi konsep sentral perlu memperoleh perhatian khusus, yakni menerjemah kata tersebut secermat dan setepat mungkin. Konsep sentral adalah kosa kata yang menjadi “penanda” tema-tema sentral. h. Penerjemah hendaknya mengoptimalkan pemahaman pada sekitar 10-20% pertama teks Arab. Misalkan, untuk menerjemah teks Arab setebal 100 halaman, maka penerjemah hendaknya memperoleh pemahaman optimal pada 10-20 halaman pertama, termasuk pencarian, pengelolaan dan pemeliharaan kosa kata-kosa kata sulit.
 2. Persoalan Gramatika Gramatika adalah pembahasan tentang morfologi dan sintaksis. Pada bagian ini pembahasan akan ditekankan pada aspek nahwiyahnya, dan bukan pada aspek Shorfiyahnya. Pembahasan Shorf, yang berkutat pada ‘domestik’ kata, memiliki wilayah kajian yang relatif sama dengan pembahasan persoalan mufrodat atau kosa kata. Persoalan yang terkandung dalam sintaksis Arab dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok: a. tarkib (frase): 1) tarkib washfi, 2) tarkib idlofi, 3) Athaf dan ma’thuf ‘Alaih, 4) Badal dan Mubdal Minhu, 5) Taukid. b. Jumlah (kalimat) Berdasarkan tingkat kesulitan dan kemungkinan jalan pemecahannya, kalimat-kalimat bahasa Arab dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: 1) Kalimat sederhana: kalimat yang memiliki struktur paling minimal untuk suatu kalimat, yakni subjek dan predikat. 2) Kalimat lengkap: kalimat yang berstruktur lengkap, lebih lengkap dari kalimat sederhana. Dalam bahasa Indonesia, pengertian ini paralel dengan kalimat yang berpola S+P+O atau lebih lengkap lagi, berpola S+P+O+K. 3) Kalimat Kompleks/ kalimat bertingkat: satu kalimat yang bagiannya memiliki anak kalimat. Namun demikian, makna kalimat kompleksyang digunakan di sini mencakup pengertian yang lebih luas, agar dapat melingkupi persoalan-persoalan riil dalam dunia terjemah. Variasi kalimat kompleks dan penjelasannyayang terkait dengan penerjemahannyake dalam bahasa Indonesia, yaitu: a) Sifat berupa kalimat (نعت الجملة) b) Jeda / sampiran (mu’taridloh) c) Kalimat Syarat d) Kalimat dengan bagian struktur berupa kalimat. 
3. Persoalan Uslub (style) Pembahasan uslub mencakup empat hal, yakni: a. Kalimat sumpah b. Uslub Ketakjuban c. Uslub Pujian dan Celaan d. Uslub Anjuran dan Larangan
4. Persoalan konteks Suku kata con pada kata context memiliki arti ‘persekutuan’ dan text berarti ‘rajutan’ atau jaringan. Pengertian teks di sini bukan hanya sebagai suatu kesatuan teks utuh, namun juga bagian-bagian teks yang di dalamnya telah mengandung satuan-satuan makna. Dengan demikian, sesuatu yang menyertai teks (konteks) dapat pula mencakup (dan dapat dikategorikan sebagai) konteks teks secara utuh, konteks kalimat, dan bahkan konteks yang lebik kecil lagi. Atau dengan kategori yang lain, sesuatu yang menyertai teks (konteks) dapat dibagi menjadi dua: a. Konteks Linguistik: segala sesuatu yang terkait dengan kebahasaan teks. b. Konteks Non-Linguistik: segala sesuatu yang menyertai teks di luar aspek kebahasaan teks, antara lain mencakup budaya, historisitas, ideologi dan kondisi sosial-politik. 

BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan 
Dari pemaparan di atas dapa disimpulkan bahwa problematika dalam penerjemahan adalah sebagai berikut: 1. Perbedaan Cakupan Makna 2. Perbedaan Penggunaan 3. Perbedaan dalam Penggunaan Majas 4. Perbedaan Medan Makna (semantic field) 5. Perbedaan kultur sosial dan budaya Menurut Ibnu Burdah persoalan-persoalan dalam menerjemah adalah: 1. Persoalan kosa kata 2. Persoalan Gramatika 3. Persoalan Uslub (style) 4. Persoalan konteks 
B. Saran 
Dengan melihat berbagai macam bentuk problematika dalam penerjemahan hendaknya bagi penerjemah untuk lebih teliti dengan memperhatikan aspek-aspek bahasa sumber menuju bahasa sasaran. Semoga bermanfaat!. 

DAFTAR PUSTAKA 
Mufid, Nur dan Rahman, Kaserun AS. Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007) 
SRI Mulyani Nasution, http://srimulyaninasution.wordpress.com/literature/penerjemahan-permasalahan-dan-metode/ ‘Umar, Ahmad Mukhtâr , ‘Ilm al-Dalâlah Fâyiz al-Dâyah, ‘Ilm al-Dalâlah al-‘Arabi (Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1996) 
Djajasudarma, Fatimah , Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna (Bandung: Eresco, 1993) Hanafi, Nurachman, Teori dan Seni Menerjemahkan (Flores-NTT: Penerbit Nusa Indah, 1986). Chaer, Abdul, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), cet. 2. Mujâhid, ‘Abd al-Karîm , al-Dilâlah al-Lughawiyah ‘Inda al-‘Arab (Omman: Dâr Al-Dhiya', tt ) Burdah, Ibnu, Menjadi Penerjemah Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), Cet-1.

Tidak ada komentar: