الشيء قد يثبت على خلاف الظاهر
Diajukan
untuk memenuhi tugas UAS
dalam materi Qawaidul Fiqih
Oleh:
Nur
Lailatus Shofa
Dosen
Pengampu :
   Dr. Farid Zaini, Lc,M,HI.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
STIBAFA
TAMBAKBERAS - JOMBANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.   
Latar Belakang
Diakui atau tidak, kehidupan rumah tangga adalah
kehidupan baru di ladang. Suami sebagai petani yang seharusnya bermisi
menjadikan ladang subur dengan bibit yang unggul. sang istri  yang sebagai ladang tersebut hendaknya dengan
lapang dada menerima aturan main petani. Tapi kenyataannya banyak sekali kita
jumpai hubungan di antara mereka tidak berjalan mulus, belum menghasilkan bibit
unggul mereka sudah tak menghiraukan rumah tangganya. Seperti ketika sang istri
tak sepenuhnya menyadari “ladang”kah dia? Dan suamipun demikian, tak begitu
ingin tahu langkah apa yang seharusnya ia tanamkan meski yang dia inginkan
adalah berladang, sebagai gambarannya dia dengan mudahnya mengobral talak.
Banyak suami dengan sesukannya mengobral talak ketika apa yang dilakukan istri
sedikit kurang berkenan dihatinya. Hal ini berdampak tidak baik bagi keadaan
agama hamba yang begitu mempermainkan kitabullah.
B.     Tujuan Masalah 
Dengan melihat berbagai rentetan masalah maka
jelaslah di hadapan kita bahwa pembahasan ini bertujuan agar semua tahu dan
menghayati makna dari pernikahan yang sesungguhnya. Tidak mengambil yang enak
kemudian pergi ketika kesulitan melanda. Berambisi mengurangi angka perceraian
dan terutama mengurangi dosa-dosa dikarenakan tidak begitu mempedulikan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
الشيء قد يثبت على خلاف الظاهر[1]
sesuatu itu terkadang ketetapannya berkebalikan dengan dlohir atau
kenyataannya[2]
A.   
Implikasi Kaidah
Menjatuhkan talak dengan cara mengaitkan dengan terjadinya hal lain disebut
para Fuqoha' dengan istilah الطَّلاَقُ الْمُعَلَّقُ
(Suspended Divorce/ Talak Tergantung). Seperti mengancam
jatuhnya talak kepada istri, jika istri tidak melakukan perbuatan yang
diperintahkan suami. Ketentuan Fikih dalam hal ini, talak dihukumi jatuh jika
syarat yang disebutkan pada ancaman talak tersebut terealisasi.  Maka,
seandainya seorang suami berkata kepada istrinya; "jika engkau menerima
tamu tanpa seizinku, maka jatuhlah talakku kepadamu",dalam
kondisi ini semuanya dihukumi jatuh talak tanpa bisa diralat lagi.
 
B.  
Inilah
dalil-dalil utama yang menunjukkan jatuhnya Tholaq Mu'allaq.
·        
Dalil yang
menunjukkan Tholaq Mu'allaq dihukumi jatuh talak jika syarat yang
diancamkan telah terealisasi adalah sejumlah nash berikut;
Pertama; membuat syarat yang
tidak bertentangan dengan hukum Syara' hukumnya Mubah, dan kaum Muslimin
terikat oleh syarat yang dibuatnya. Ad-Daruquthni meriwayatkan;"Dari Katsir bin
Abdillah bin 'Amr bin 'Auf Al-Muzany dari ayahnya dari kakeknya dai Nabi SAW,
beliau bersabda " Kaum Muslimin terikat syarat-syarat mereka, kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram" (H.R.Ad-Daruquthni) [3]. Membuat
syarat jatuhnya talak termasuk keumuman bolehnya membuat syarat dalam Hadis
ini. Oleh karena itu, hukum jatuhnya talak berlaku ketika syarat tersebut
terealisasi sebagaimana talak dijatuhkan tanpa ada syarat.
Kedua; Talak dihukumi tetap jatuh baik diucapkan
dengan serius maupun bercanda. Abu dawud meriwayatkan;"Dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiga
perkara, seriusnya dihukumi serius dan candanya (tetap) dihukumi serius, yaitu;
nikah, perceraian, dan Rujuk" (H.R.Abu Dawud).[4] Tholaq
Mu'allaq jelas menyebut lafadz talak sebagai ancaman, karena itu apapun
motivasi mengucapkan ancaman tersebut, entah serius, main-main, atau sekedar
menakut-nakuti termasuk cakupan makna Hadis ini. Karena itu, talak dihukumi
jatuh ketika syarat ancaman talak tersebut telah terealisasi.
Ketiga; Ibnu Umar berfatwa jatuhnya talak pada kasus Tholaq Mu'allaq. Bukhari
meriwayatkan;"Nafi' berkata: Seorang lelaki mentalak istrinya dengan
talak Battah (talak tiga/Bainunah Kubro) jika sang istri keluar (dari rumah
suaminya). Maka Ibnu Umar berkomentar; Jika wanita itu keluar, maka dia
tertalak oleh lelaki itu. Jika dia tidak keluar maka tidak ada konsekuensi
apapun" (H.R.Bukhari)[5] Adanya
fatwa dari Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa ketentuan jatuhnya talak pada kasus
Tholaq Mu'allaq sudah diketahui semenjak zaman Shahabat. Fatwa Ibnu Umar ini
dikuatkan oleh riwayat fatwa senada dari Ibnu Mas'ud. Al-Baihaqi meriwayatkan;"Dari
Abdullah bin Mas'ud, tentang seorang lelaki yang berkata kepada istrinya; Jika
dia (sang istri) melakukan ini  dan itu maka dia tertalak. (ternyata)
wanita itu melakukannya. Maka Ibnu Mas'ud berkomentar; itu (sudah jatuh talak)
satu, dan dia (lelaki itu) lebih berhak kepadanya -untuk Rujuk kembali- (H.R.Al-Baihaqi)[6] Adapula
riwayat yang menunjukkan bahwa para Fuqoha' Madinah berfatwa dengan fatwa ini.
Al-Baihaqi meriwayatkan; "Dari Ibnu Abi Az-Zinad dari ayahnya
dari para Fuqoha' penduduk Madinah, mereka memfatwakan; lelaki manapun yang
berkata kepada istrinya: "Engkau tertalak jika engkau keluar hingga malam
hari, kemudian ternyata istrinya keluar, atau dia mengatakan ucapan itu kepada
budaknya, lalu budaknya keluar sebelum malam tiba tanpa sepengetahuannya, maka
istrinya tertalak dan budaknya menjadi bebas. Hal itu dikarenakan dia tidak
melakukan Istitsna' (pengecualian). Kalau dia mau, dia bisa mengatakan
"dengan izinku", tetapi dia melalaikan Istitsna', sehingga beban
kealaian itu ditimpakan kepadanya" (H.R.Al-Baihaqi)[7] Tidak bisa
mengatakan bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar adalah riwayat yang lemah. Klaim ini
tertolak karena Hadis tersebut diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya. Meskipun
Bukhari meriwayatkannya secara Mu'allaq, namun beliau menyebutkannya dengan
Sighat Jazm (tegas) sehingga riwayatnya terhitung Shahih. Lagipula Ibnu hajar
telah menyebutkan sanad lengkapnya dalam kitab Taghliqu At-Ta'liq. Justru
riwayat fatwa shahabat yang bertentangan dengan riwayat fatwa Ibnu Umarlah yang
lebih layak dipertanyakan keshahihannya, sekaligus diperiksa ulang redaksinya karena
riwayat-riwayat yang ada seringkali difahami tidak tepat sebagai Tholaq
Mu'allaq  padahal sebenarnya adalah terkait sumpah. Tidak bisa pula
memahami bahwa riwayat fatwa Ibnu Umar itu adalah dalam kondisi suami memang
berniat talak sehingga dihukumi talak. Tidak bisa diklaim demikian, karena
tidak ada perincian apapun dalam lafadz riwayat yang memberi isyarat niat
suami. Karena itu, lafadz riwayat tersebut harus difahami umum dan mutlak yang
mencakup niat talak maupun hanya niat menakut-nakuti. Lagipula Ibnu Umar dalam
berfatwa sama sekali tidak menyinggung niat suami dalam membangun fatwa.
Keempat; Suami dalam kondisi memegang hak talak dan mentalak berdasarkan
pilihannya tanpa dipaksa. At-Tirmidzi meriwayatkan;"Dari 'Amr bin
Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak ada nadzar bagi anak Adam terhadap sesuatu yang
tidak dimilikinya, tidak ada (hak) memerdekakan pada sesuatu yang tidak
dimilikinya dan tidak ada (hak) talaq pada sesuatu yang tidak dimilikinya (H.R.At-Tirmidzi)."[8] Hadis tersebut
menerangkan bahwa orang yang tidak memiliki hak talak jika menjatuhkan talak
maka talaknya tidak jatuh. Mafhum mukholafahnya; orang yang
memiliki hak talak, dan mentalak berdasarkan pilihannya tanpa dipaksa berarti
talaknya jatuh. Suami yang mentalak dengan cara Tholaq Mu'allaq termasuk
keumuman Mafhum Hadis ini, oleh karena itu Tholaq Mu'allaq juga jatuh berdasarkan Hadis ini. 
·        
pendapat
yang menyatakan bahwa Tholaq Mu'allaq dihukumi berdasarkan niatnya; jika
berniat talak maka jatuh talak, jika berniat hanya menakut-nakuti maka tidak
dianggap talak tetapi hanya dianggap sumpah yang cukup ditebus dengan Kaffaroh
dalam kondisi terealisasi syarat, yang mana pendapat ini mendasarkan hujjahnya
pada Hadis Nabi yang berbunyi;"Amal-amal itu tergantung niatnya, dan
setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya (H.R.Bukhari)[9]. Maka
argumen ini tidak bisa diterima. Alasannya; Perlakuan dan konsekuensi hukum
Syara' memperhatikan yang Dhohir bukan niat pelaku. Niat pelaku adalah urusan
hamba dengan Allah, bukan hamba dengan sesama hamba. Seorang munafik yang
bersyahadat, meskipun tidak ada niat masuk Islam sama sekali, tetapi karena
Dhohirnya dia telah bersyahadat maka diterapkan hukum-hukum sebagai seorang
Muslim. Urusan batin dan niat dia bukan wilayah tanggungjawab manusia. Allahlah
yang akan menghisab dia pada hari pembalasan terkait niat jahatnya. Umar pernah
berpidato menegaskan kaidah ini. Bukhari meriwayatkan;"Dari Az Zuhriy
berkata, telah menceritakan kepadaku Humaid bin 'Abdurrahman bin 'Auf bahwa
'Abdullah bin 'Utbah berkata, aku mendengar 'Umar bin Al Khaththob radliallahu
'anhu berkata: "Sesungguhnya sejumlah orang dihukum berdasarakan
(pemberitahuan) wahyu  pada masa hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dan hari ini wahyu sudah terputus. Dan hari ini kita menilai kalian
berdasarkan amal amal yang nampak (zhahir). Maka siapa yang secara zhahir
menampakkan perbuatan baik kepada kita, kita percaya kepadanya dan kita dekat
dengannya dan bukan urusan kita apa yang tersembunyi darinya karena hal itu
sesuatu yang menjadi urusan Allah dan Dia yang akan menghitungnya. Dan siapa
yang menampakkan perbuatan yang jelek kepada kita, maka kita tidak percaya kepadanya
dan tidak membenarkannya sekalipun batinnya baik (H.R. Bukhari)"[10]
. Syariat
Li'an juga menunjukkan bahwa konsekuensi hukum itu hanya melihat Dhohirnya,
bukan maksud dan niat pelaku Li'an. Allah berfirman; dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk
orang-orang yang benar. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya,
jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu
benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat
Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur; 6-9). Dalam kasus  Li'an, pasti ada salah satu yang berdusta. Namun jika dua
pihak yang berli'an semuanya berani bersumpah sebanyak lima kali untuk
mendustakan lawannya, maka kedua-duanya selamat dari konsekuensi hukum (cambuk
atau rajam) karena Dhohirnya mereka memang tidak bersalah. Namun diakhirat,
kedustaan salah satu diantara mereka pasti terbukti dan akan dibalas. Dan ini
berada diwilayah wewenang Allah karena terkait dengan maksud dan niat batin
manusia yang tidak ada yang tahu kecuali Allah.
juga tidak tepat dipakai disini, karena topik Hadis tersebut adalah membahas keikhlasan amal seorang hamba. Bukan konsekuensi hukum syara yang diterapkan kepada orang yang berniat. Orang yang berhijrah karena menikahi wanita, tetap dihukumi Muhajirin secara dhohir, namun dari aspek keikhlasan tercela karena tidak murni berhijrah karena Allah.
Lagipula, Hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa talak itu termasuk perkara yang dihukumi jatuh, baik dilakukan dengan serius maupun canda. Hal ini menunjukkan bahwa niat suami yang mentalak sama sekali tidak diperhatikan. Hikmahnya; orang tidak akan bisa beralasan bercanda ketika mentalak demi menganulir ucapan talak yang telah diucapkannya. Anulir-anulir talak dengan alasan canda secara otomatis akan membuat syariat talak menjadi sia-sia, karena orang akan selalu bisa beralasan canda untuk mengingkari pernah mentalak. Dengan adanya ketentuan jatuhnya talak yang diucapkan serius maupun canda, maka orang akan lebih berhati-hati mengucapkan kata-kata talak.
juga tidak tepat dipakai disini, karena topik Hadis tersebut adalah membahas keikhlasan amal seorang hamba. Bukan konsekuensi hukum syara yang diterapkan kepada orang yang berniat. Orang yang berhijrah karena menikahi wanita, tetap dihukumi Muhajirin secara dhohir, namun dari aspek keikhlasan tercela karena tidak murni berhijrah karena Allah.
Lagipula, Hadis riwayat Abu Dawud menegaskan bahwa talak itu termasuk perkara yang dihukumi jatuh, baik dilakukan dengan serius maupun canda. Hal ini menunjukkan bahwa niat suami yang mentalak sama sekali tidak diperhatikan. Hikmahnya; orang tidak akan bisa beralasan bercanda ketika mentalak demi menganulir ucapan talak yang telah diucapkannya. Anulir-anulir talak dengan alasan canda secara otomatis akan membuat syariat talak menjadi sia-sia, karena orang akan selalu bisa beralasan canda untuk mengingkari pernah mentalak. Dengan adanya ketentuan jatuhnya talak yang diucapkan serius maupun canda, maka orang akan lebih berhati-hati mengucapkan kata-kata talak.
Adapun
alasan bahwa Tholaq Mu'allaq dianggap tidak berlaku dengan mengqiyaskan tidak
bolehnya ada Zawaj Mu'allaq (pernikahan digantung), maka alasan ini tidak bisa
diterima. Karena talak berbeda dengan akad Nikah. Akad nikah adalah akad antara
dua pihak, sementara talak hanya menjadi hak suami dan tidak perlu ridha istri. Oleh
karena dua ahal ini berbeda, maka keduanya tidak bisa diqiyaskan/dianalogikan. Adapun
argumen bahwa Nabi pernah mengharamkan minum madu zainab lalu ditegur Allah
dengan turunnya surat At-Tahrim dan diperintahkan membatalkan sumpahnya,
kemudian hal ini difahami bahwa sumpah tidak selalu memakai lafadz sumpah
sehingga boleh saja Tholaq Mu'allaq difahami sumpah (yang konsekuensinya hanya
wajib ditebus dengan Kaffaroh), bukan difahami jatuhnya talak, maka argumentasi
ini tidak dapat diterima karena dua alasan. Pertama; ucapan Nabi saat
bertekad tidak mau minum madu Zainab itu sama sekali tidak mengandung unsur
Ta'liq (mengaitkan) dengan terealisasinya sesuatu sebagaimana dalam Tholaq
Mu'allaq. Kedua; riwayat Bukhari jelas sekali menunjukkan bahwa Nabi
memakai lafadz "Halafa" (bersumpah) sebelum bertekad tidak minum
madu. Hal ini menunjukkan sumpah yang diperintahkan Allah untuk dibatalkan itu
adalah sumpah yang memang diucapkan nabi, bukan tekad untuk tidak minum madu
yang difahami sebagai sumpah. Bukhari meriwayatkan;
"Dari Ibnu Juraij menuturkan; 'Atha` mengataka bahwa dirinya pernah mendengar Ubaid bin Umair mengatakan; aku pernah mendengar 'Aisyah menuturkan; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di rumah Zainab binti Jahsy dan meminum madu dirumahnya, maka aku dan Hafshah saling berpesan bahwa siapa saja diantara kami berdua yang didatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, hendaknya kami mengatakan; 'Aku mencium bau pohon mighfar dimulutmu, apakah engkau telah makan buah mighfar? ' Nabi kemudian menemui salah satu dari keduanya dan dia mengatakan ucapan yang telah disepakati keduanya, namun Nabi justeru menjawab: "Tidak, tetapi aku minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan sekali-kali aku tidak akan mengulanginya." Maka turunlah ayat yang menegur Nabi; "Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan kepadamu' dan ayat, 'jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, ' ditujukan kepada Aisyah dan Hafshah. Dan firman-Nya; 'Ingatlah ketika Nabi merahasiakan sebuah pembicaraan kepada sebagian isterinya, ' petikan ayat ini untuk ucapan Nabi yang mengatakan: 'Namun aku minum madu.' Ibrahim bin Musa berkata kepadaku; dari Hisyam dengan tambahan redaksi: "Saya sekali-kali tak akan mengulanginya selama-lamanya, saya telah bersumpah, maka janganlah kalian kabarkan kepada seorang pun." (H.R. Bukhari)[11]
Adapun ketentuan syariat bahwa sumpah Laghwun (sumpah main-main) tidak dihukum, dan hanya sumpah serius saja yang dihukum (ada konsekuensi syariat), berdasarkan ayat yang artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah; 89) Maka ketentuan ini tidak bisa menjadi dalil bahwa niat diperhatikan dalam kasus Tholaq Mu'allaq. Alasannya; Tholaq Mu'allaq tidak bisa dihukumi sebagai sumpah dan belum bisa disamakan dengan sumpah. Lagipula hukum sumpah berbeda dengan hukum talak dan tidak bisa diqiyaskan. Sumpah main-main memang tidak dihukumi jatuh, tetapi talak main-main dihukumi jatuh berdasarakan nash.
"Dari Ibnu Juraij menuturkan; 'Atha` mengataka bahwa dirinya pernah mendengar Ubaid bin Umair mengatakan; aku pernah mendengar 'Aisyah menuturkan; bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di rumah Zainab binti Jahsy dan meminum madu dirumahnya, maka aku dan Hafshah saling berpesan bahwa siapa saja diantara kami berdua yang didatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, hendaknya kami mengatakan; 'Aku mencium bau pohon mighfar dimulutmu, apakah engkau telah makan buah mighfar? ' Nabi kemudian menemui salah satu dari keduanya dan dia mengatakan ucapan yang telah disepakati keduanya, namun Nabi justeru menjawab: "Tidak, tetapi aku minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan sekali-kali aku tidak akan mengulanginya." Maka turunlah ayat yang menegur Nabi; "Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah Allah halalkan kepadamu' dan ayat, 'jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, ' ditujukan kepada Aisyah dan Hafshah. Dan firman-Nya; 'Ingatlah ketika Nabi merahasiakan sebuah pembicaraan kepada sebagian isterinya, ' petikan ayat ini untuk ucapan Nabi yang mengatakan: 'Namun aku minum madu.' Ibrahim bin Musa berkata kepadaku; dari Hisyam dengan tambahan redaksi: "Saya sekali-kali tak akan mengulanginya selama-lamanya, saya telah bersumpah, maka janganlah kalian kabarkan kepada seorang pun." (H.R. Bukhari)[11]
Adapun ketentuan syariat bahwa sumpah Laghwun (sumpah main-main) tidak dihukum, dan hanya sumpah serius saja yang dihukum (ada konsekuensi syariat), berdasarkan ayat yang artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja (Al-Maidah; 89) Maka ketentuan ini tidak bisa menjadi dalil bahwa niat diperhatikan dalam kasus Tholaq Mu'allaq. Alasannya; Tholaq Mu'allaq tidak bisa dihukumi sebagai sumpah dan belum bisa disamakan dengan sumpah. Lagipula hukum sumpah berbeda dengan hukum talak dan tidak bisa diqiyaskan. Sumpah main-main memang tidak dihukumi jatuh, tetapi talak main-main dihukumi jatuh berdasarakan nash.
"Dari
Abu Rofi' beliau berkata; Maulat (tuan wanita)ku  berkata: "Aku
benar-benar akan memisahkanmu (menceraikanmu) dengan istrimu (dan dia
bersumpah) semua hartanya (dishodaqohkan) digerbang pintu Ka'bah, dan dia akan
sehari menjadi Yahudi, sehari menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi
"jika kamu tidak berpisah dengan istrimu" (ancamnya). Maka aku pergi
menuju Ummul Mukminin Ummu Salamah dan aku berkata : "Sesungguhnya
Maulatku ingin memisahkan aku dengan istriku". Ummu Salamah berkata;
"Pergilah kepada Maulatmu dan katakan bahwa hal ini tidak halal
baginya". Maka aku kembali kepadanya. Lalu aku mendatangi Ibnu Umar, lalu
aku memberitahunya. Maka Ibnu Umar datang, hingga ketika sampai di pintu beliau
berkata; "Di sini ada Harut dan Marut". Maulatku berkata:
"Sesungguhnya aku telah menjadikan semua hartaku (dishodaqohkan) digerbang
Ka'bah". Ibnu Umar bertanya; "lalu apa yang kamu makan"? dia
melanjutkan: "Dan aku berkata; Aku akan sehari menjadi Yahudi, sehari
menjadi Nasrani, dan sehari menjadi Majusi". Ibnu Umar berkomentar;
"Jika engkau menjadi Yahudi maka engkau akan dibunuh, jika engkau menjadai
Nasrani maka engkau akan dibunuh, dan jika engkau menjadi Majusi maka engkau
akan dibunuh. Dia berkata; "Kalau begitu apa yang kau perintahkan
kepadaku"?Ibnu Umar menjawab: "Tebuslah sumpahmu dan kumpulkan
antara pemuda dan pemudimu –jangan berusaha menceraikan-" (H.R. Ad-Daruquthni)[12]
Jelas
sekali bahwa yang melakukan Ta'liq adalah Maulat Abu Rofi' bukan Abu Rofi'
sendiri. Tentu saja yang punya hak talak yang berkonsekuensi jatuh talak hanya Abu
Rofi'  bukan Maulatnya. Maulat Abu Rofi' adalah pihak luar, bukan suami dan bukan pula istri.
Karena itu Ta'liq yang ia ucapkan sebagai Ta'kid keinginannya bisa difahami
secara Urfi sebagai sumpah, sehingga dia diperintahkan menebus sumpahnya dengan
Kaffaroh.
Dengan
demikian, berdasarkan uraian dalil-dalil di atas, serta bantahan terhadap
sejumlah kebaratan bisa difahami bahwa Tholaq Mu'allaq dihukumi jatuh talak
ketika syaratnya yang disebutkan dalam ancaman terealisasi. Pendapat ini
adalah pendapat seluruh Imam empat madzhab; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
As-Syafi'I, dan Imam Ahmad.  Bahkan disebut telah menjadi Ijma' oleh Imam
Mujtahid Abu Ubaid, Abu Tsaur, At-Thobary, Abu Bakr bin Al-Mundzir, Muhammad
bin Nashr Al-Marwazy, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, dan Al-Baji. Ralat dalam
Tholaq Mu'alaq tidak berguna, karena Talak bersifat Luzum (mengikat), begitu
diucapkan maka jatuhlah konsekuensi sebagaimana lafadz Ijab Qobul dalam akad
nikah yang tidak membedakan serius ataupun main-main.
Konsekuensi
jatuhnya talak  yang ketiga adalah tidak halalnya menikah lagi sampai
istri menikah lagi dengan lelaki lain kemudian diceraikan. Allah berfirman;
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain (Al-Baqoroh; 230)
Konsekuensi hukum ini meskipun pahit tetap harus dijelaskan dan dijalankan sebagai realisasi ketakwaan kepad Allah SWT.
kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain (Al-Baqoroh; 230)
Konsekuensi hukum ini meskipun pahit tetap harus dijelaskan dan dijalankan sebagai realisasi ketakwaan kepad Allah SWT.
Jika dalam
rumah tangga terjadi persoalan, seyogyanya jangan langsung mengancam dengan
talak, tetapi mengikuti cara yang diajarkan dalam Al-Quran yang tertuang dalam surat An-Nisa’ : 34. Disana
menjelaskan bahwa solusi awal terhadap istri yang
bermasalah adalah dinasehati. Nasehat ini jika tidak mempan dari suami bisa
meminta tolong kepada ulama atau orang yang disegani istri. Jika nasehat masih
tidak mempan, bisa membuat aksi pisah ranjang sebagai hukuman mental yang bisa
disertai tidak mengajak berbicara sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada istri-istrinya selama satu bulan. Jika
pisah ranjang masih tidak mempan maka suami boleh memukul, namun pukulan yang
mendidik, bukan pukulan yang menyakitkan. Saat istri membangkang (Nusyuz) maka
dia kehilangan hak nafkah. Jadi, jika suami tidak menafkahi istri karena istri
yang membangkang, maka suami tidak berdosa.
Jika
dipukul belum juga berubah, berarti persoalannya lebih  dalam lagi
sehingga perlu keterlibatan pihak luar. Dalam kondisi ini, untuk mencari
penyelesaian, pihak lelaki mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya dan
pihak wanita juga mengutus salah satu keluarganya yang dipercaya. Kedua utusan
ini bertemu untuk membahas dan mencari solusi bersama. Allah menjamin, jika
semua memang berniat baik maka Dia akan memberikan taufiq kebaikan. Allah
berfirman; dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. (An-Nisa: 35)
Jika
pelibatan dua keluarga ternyata masih juga belum memberikan solusi dan titik
terang, berarti persoalan rumah tangga keduanya sudah mencapai puncaknya,
sehingga dalam hal ini talaklah yang menjadi  solusi terakhir. 
Atas dasar
ini, bisa disimpulkan kembali bahwa kasus talak di atas adalah
termasuk Tholaq Mu'allaq yang dihukumi jatuh talak jika syarat yang diancamkan
terealisasi. Oleh karena syarat yang diancamkan, yaitu pembangkangan istri
untuk pergi bersama suami telah terealisasi, maka jatuhlah talak tersebut dan
berlaku konsekuensi-konsekuensi jatuhnya talak tiga.Namun, jika suami baru
mengetahui hukum tentang Tholaq Mu'allaq ini dan baru mengetahui pula
konsekuensi-konsekuensi beratnya, maka kesalahannya dimaafkan. Hal itu
dikarenakan Allah memaafkan kesalahan yang tidak disengaja, terlupa ataupun dipaksa. 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menjatuhkan talak dengan cara mengaitkan dengan terjadinya hal lain disebut
para Fuqoha' dengan istilah الطَّلاَقُ الْمُعَلَّقُ
(Suspended Divorce/ Talak Tergantung). Seperti mengancam
jatuhnya talak kepada istri.
Berbagai Dalil telah menunjukkan Tholaq Mu'allaq dihukumi
jatuh talak jika syarat yang diancamkan telah terealisasi. Oleh karena
syarat yang diancamkan, seperti pembangkangan istri untuk pergi bersama
suami telah terealisasi, maka jatuhlah talak tersebut dan berlaku konsekuensi-konsekuensi
jatuhnya talak tiga.Namun, jika suami baru mengetahui hukum tentang Tholaq
Mu'allaq ini dan baru mengetahui pula konsekuensi-konsekuensi beratnya, maka
kesalahannya dimaafkan. Hal itu dikarenakan Allah memaafkan kesalahan yang
tidak disengaja, terlupa ataupun dipaksa. 
B.     Saran 
Alhamdulillah, dengan ditulisnya makalah ini diharapkan bagi
pemakalah pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya bisa mentelaah dengan
baik dan dapat mengamalkan apa yang telah diketahui.
KEPUSTAKAAN
الامام تاج الدين عبدالوهاب علي ابن عبد الكافى السبكي, الأشباه والنظائلر,  دار الكتب العلمية, بروت-لبنان, juz 1
Sunan Ad-Daruqutniy, 7/194.
Sunan Abu Dawud, 2/225.
Shohih Bukhori, 16/315
As- Sunan Al-Baihaqi Wafi Dzailihi Al-Jauhar Al-Naqi, 7/356
Sunan Al-Tirmidzi, 4/421
Shohih Bukhori, 1/3
Shohih Bukhori,9/118
Shohih Bukhori, 20/391
Sunan Al-Daruqutni,10/167
[1] الامام تاج الدين عبدالوهاب علي ابن عبد الكافى
السبكي, الأشباه والنظائلر,  دار الكتب العلمية, بروت-لبنان,
juz 1
[2]
penulis
[3]
Sunan Ad-Daruqutniy, 7/194.
[4]
Sunan Abu Dawud, 2/225.
[5]
Shohih Bukhori, 16/315
[6]
As- Sunan Al-Baihaqi Wafi
Dzailihi Al-Jauhar Al-Naqi, 7/356
[7]
Ibid.
[8]
Sunan Al-Tirmidzi, 4/421
[9]
Shohih Bukhori, 1/3
[10]
Shohih Bukhori,9/118
[11]
Shohih Bukhori, 20/391
[12]
Sunan Al-Daruqutni,10/167
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar