Selasa, 03 Januari 2012

makalah Muhkam Mutasyabih

BAB 1

Pendahuluan

A. Latar belakang
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw dan segenap keluarganya, serta para sahabatnya. Amma ba’du.
Untuk pembelajaran bagi kita semua, diperlukan adanya uraian tentang dasar dasar pada materi yang akan kami bahas pada kesempatan kali ini. Salah satu persoalan ‘Ulum Al-Qur’an yang masih diperdebatkan hingga saat ini adalah kategorisasi Muhkam-Mutasyabih. Perdebatan seputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan islam,terutama menyangkut penafsiran Al-Qurán. Adanya perbedaan pendapat ulama tentang hubungan suatu ayat atau surat merupakan latar belakang adanya Muhkam-Mutasyabih. Secara ringkasnya Muhkam Wal Mutasyabbih adalah ayat ayat yang jelas dan samar untuk diketahui artinya.

Maka Perlunya pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah kami dengan tema “ Muhkam Wal Mutasyabbih ’’. Pada halaman berikutnya akan kami uraikan dan jelaskan perihal tersebut. Semoga Allah menjadikan ini sebagai amalan yang bermanfaat bagi kita semua, amiin.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang kami ambil sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Muhkam wal Mutasyabbih?
2. Apa Bentuk Ayat Muhkam Mutasyabbih dalam Al-Qurán?
3. Bagaimana Sikap para ulama terhadap ayat Muhkam Wal Mutasyabbih?
4. Bagaimana Kompromi antara Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil?
5. Apa yang dimaksud dengan Takwil yang Tercela?
6. Apa Hikmah dari pembagian Al-Qurán menjadi Muhkam dan Mutasyabbih?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam Wal Mutasyabbih
Menurut etimologi Muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan .
Muhkamat, yang menjadi karateristik isi Al-Qurán secara umum.
Berdasarkan beberapa firman Allah SWT antara lain:
           
‘‘Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi, serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.’’ (QS.Hud:1)
      
“Alif laam raa, inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah.” (QS.Yunus)
       
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi kami adalah benar-benar tinggi (nilainya), dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS.Az-Zukhruf:4)
Ma’na Al-ihkam (muhkamat) dari lafadz Uhkimat al-hakim, dan hakim pada ayat-ayat diatas adalah indah dan rapi, baik dalam lafadznya maupun maknanya, gaya bahasa dan uslubnya sangat fasih, semua kabarnya sarat dengan kebenaran dan manfaaat, tidak mengandung unsur kedustaan,pertenetangan dan hal yang tidak bermanfaat. Hukum-hukumnya sarat dengan nilai keadilan, hikmah, bebas dari kepalsuan dan pertentangan, serta tidak ada hukum yang diskriminatif.
Ihkam al-Kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah,dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, yang dimaksud dengan Al-ihkam Al-‘amm atau Muhkam dalam arti umum adalah Qur’an yang kata-katanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dan yang bathil dan antara yang benar dan yang dusta.
Secara bahasa, mutasyabih berarti tasyabuh,yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain dalam kesempurnaan,keindahan, dan tujuan-tujuan yang terpuji. .Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantar keduanya secara konkrit maupun abstrak. Jadi, Tasyabuh Al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Mutasyabih, yang menjadi karateristik isi Al-Qur’an secara umum, sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah dalam Az-Zumar ayat 23:
 •     •                              
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.” (QS.Az-Zumar:23)
Makna kata mutasyabihan dalam ayat diatas adalah bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an bagian yang satu dengan bagian yang lainnya serupa(tasyabuh) dalam kesempurnaan,keindahan,dan tujuan-tujuan yang terpuji.
Jadi, at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum adalah Qur’an yang sebagian kandungannya serupa dengan bagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya.
Muhkam yang khusus pada bagian ayat Al-Qur’an dan tasyabuh yang khusus pada sebagian lainnya seperti dalam firman Allah :


              •                        •            
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS.Ali Imran[3]:7)
Di dalam ayat itu telah dinyatakan bahwa muhkam adalah imbangan mutasyabih. Sebagai orang-orang yang rasikh ( mendalam) ilmunya adalah imbangan orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para ulama telah menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat mereka dalam maudhu’ ini yang berbagai macam pula.

B. Bentuk-bentuk Ayat Mutasyabih Dalam Al-Qur’an
Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam
Pertama
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah SWT. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya,
sebagaimana firman Allah SWT
          
“Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya” [Thahaa : 110]

Allah SWT berfirman: .
          
“Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [Al-An’am : 103]
Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah SWT:     
“Artinya : (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy” [Thahaa : 5]
Bagaimana Allah SWT bersemayam? Beliau menjawab : “Bersemayam menurut bahasa telah diketahui artinya, hakikatnya tidak diketahui, iman kepadanya hukumnya wajib dan mempertanyakannya adalah bid’ah.
Bentuk Mustasyabih yang ini tidak mungkin untuk dipertanyakan sebab tidak mungkin untuk bisa diketahui hakikatnya
Kedua
Relative yaitu ayat-ayat yang tersamar ma’nanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.
Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, karena tidak ada satu katapun dalam Al-Qur’an yang artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. Allah SWT berfirman :
  ••    

“Artinya : (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran : 138]
Contoh-contohnya dalam firman Allah SWT :                        
“Artinya : (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula
dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(Asy-Syuura:11)
Ahli Ta’thil salah dalam memahaminya, mereka pahami, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka beranggapan, bahwa adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan keserupaan dengan makhluk, mereka menolak banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menolak, bahwa kesamaan makna tidak mengharuskan adanya keserupaan.

C. Sikap Para Ulama terhadap Ayat-ayat Mutasyabih dan Muhkam
Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat Mutasyabih dapat dibagi 3 ( tiga ) macam :
1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat mengetahui maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hari kiamat, hal-hal gaib, hakikat dan sifat-sifat zat Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 59 :
      
Artinya : “dan pada sisi Allah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri”
2. ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat: Mutasyabih yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutannya.

Contoh surat An-Nisaa’ ayat 3: 
           
Artinya : “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap ( hak-hak ) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para Ulama tertentu dan bukan semua Ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid. Sebagai mana diisyaratkan oleh Nabi dengan do’anya bagi Ibnu Abbas yang Artinya :“ Ya Tuhanku, jadikanlah seseorang yang paham dalam agama,dan ajarkanlah kepada takwil”.
Mengenal ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah, pendapat Ulama terbagi kepada dua mazhab :
1.Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik yang berasal dari ulama Mutaqaddimin.

2.Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama Muta’akhirin.
Kebanyakan orang berpendapat bahwa yang mutasyabih tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah sendiri dan mereka mengharuskan kita berwaqaf (berhenti) dalam membaca Ali Imran [3] ayat 7 surat pada lafal jalalah.
Adapun orang-orang yang rasikh ilmunya maka mereka hanya mengatakan :
•Kmi beriman kepadanya semuanya dari Tuhan kami     
Abu Hasan al-Asy’ary berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada warrasikhuna fi’ilmi. Mereka yang rasikh itu mengetahui takwil mutasyabih. Pendapat ini telah dijelaskan oleh Abi Ishaqasy-Syirazy (wafat tahun 476H) dan dibelanya. Dia berkata:” tidak ada sesuatupun dari ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah sendiri yang mengetahui maknanya.”
Al-Raghib Al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bagian.
a .Bagian yang tidak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi kiamat,bintang keluar dari dalam tanah dan yang sepertinya.
b. Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafal-lafal yang ganjil dari hokum-hukum yang sulit/rumit.
c. Bagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebagian ulama yang rasikh ilmunya yang tidak diketahui oleh sebagian yang lain.
Pendapat Al-Raghib ini adalah pendapat yang imbang , tidak ifrath dan tidak tafrith.

D. Kompromi antara Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil
Lafazh “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
1. Memalingkan sebuah lafadz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya .
Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.

Tidak ada komentar: